KONSEPSI DASAR PENANGGULANGAN
KEMISKINAN
DI KAB. TULUNGAGUNG
I.
Pendahuluan
A.
Definisi
Kemiskinan
Secara umum masyarakat miskin ditandai adanya
ketidakberdayaan atau ketidakmampuan (powerlessness)
dalam hal: a) memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi,
sandang, papan, pendidikan dan kesehatan (basic
need deprivation); b) melakukan kegiatan yang tidak produktif (unproductiveness); c) tidak bisa
menjangkau akses sumber sosial dan ekonomi (inaccessability);
d) menentukan nasibnya sendiri dan senantiasa mendapatkan perlakukan
diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis
dan vatalistik (vurnerability) dan;
e) membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta senantiasa mempunyai
martabat harga diri yang rendah (no
freedom for poor). Ukuran ketidakberdayaan atau ketidakmampuan
(powerlessnes) Kemiskinan didasarkan pada aspek penguasaan modal kapital yaitu : 1) Human Capital (modal sumber
daya manusia); 2) Business Capital (modal usaha / perdagangan); 3)
Infrastructure (prasarana / rangka dasar); 4) Nature Capital (modal sumber daya
alam); 5) Public Institusional Capital (lembaga-lembaga umum / publik) dan; 6)
Knowledge Capital (modal pengetahuan / penguasaan pengetahuan)
Dengan demikian secara umum kemiskinan didefinisikan
sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak‐hak dasarnya
untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi
yang sangat luas ini menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan masalah multi
dimensional, menyangkut banyak aspek dan permasalahan. Sehingga tidak mudah
untuk melakukan pengukuran tingkat kemiskinan, untuk itu
perlu kesepakatan bersama dengan model pendekatan pengukuran yang dipakai.
perlu kesepakatan bersama dengan model pendekatan pengukuran yang dipakai.
Untuk mengukur tingkat kemiskinan di Indonesia, BPS
menjadi institusi resmi yang menjadi rujukan, dalam hal ini BPS menyediakan 2
jenis data yaitu data kemiskinan makro dan mikro.
Data Kemiskinan Makro dalam pengukurannya menggunakan
pendekatan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan
konsep ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan. Dalam aplikasinya dihitung
berdasarkan garis kemiskinan absolut. Penduduk yang memiliki rata‐rata
pengeluaran/pendapatan per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan disebut penduduk
miskin. Penghitungan penduduk miskin dengan pendekatan makro didasarkan pada
data sampel bukan data sensus, sehingga hasilnya adalah estimasi (perkiraan).
Sumber data yang digunakan adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas),
yang pencacahannya dilakukan setiap bulan Maret dengan jumlah sampel 68.000
rumah tangga. Jumlah dan persentase penduduk miskin dihitung per provinsi
dengan garis kemiskinan yang berbeda‐beda. Di DKI Jakarta besaran garis kemiskinan pada
tahun 2010 mencapai Rp. 331.169 per kapita per bulan, sementara di Papua Rp. 259.128.
Data di level nasional merupakan penjumlahan penduduk miskin di seluruh
provinsi, sehingga jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 sebesar
31,02 juta (13,33 persen dari total penduduk) dengan garis kemiskinan sebesar Rp. 211.726 perkapita perbulan.
Data Kemiskinan Mikro, data kemiskinan makro hanya menunjukkan jumlah dan
persentase penduduk miskin di setiap daerah berdasarkan estimasi. Data ini
berguna untuk perencanaan dan evaluasi program kemiskinan dengan target
geografis namun tidak dapat menunjukkan siapa dan dimana alamat
penduduk miskin (sasaran) sehingga tidak operasional untuk program penyaluran bantuan langsung dan perlindungan sosial seperti bantuan langsung tunai (BLT), raskin, dan Jamkesmas.
Untuk penyaluran bantuan langsung yang memerlukan nama dan alamat target dibutuhkan data kemiskinan mikro. Pengumpulan datanya harus dilakukan secara sensus, bukan sampel. Berbeda dengan metode penghitungan kemiskinan makro yang menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, pengumpulan data kemiskinan mikro didasarkan pada ciri‐ciri rumah tangga miskin supaya pendataan bisa dilakukan secara cepat dan hemat biaya.
Jadi, sebetulnya tidak ada dua angka kemiskinan. Bila data 31,02 juta menunjukkan data penduduk miskin (pendekatan makro), sementara data 60,4 juta jiwa menunjukkan data individu penduduk miskin plus hampir miskin (pendekatan mikro). Selisih di antara keduanya menunjukkan besarnya penduduk hampir miskin. Mereka tidak tergolong miskin tetapi sangat rentan terhadap kemiskinan. Perlu kehati‐hatian dalam membandingkan kedua data kemiskinan tersebut karena metode penghitungan dan tujuan penggunaannya memang berbeda.
penduduk miskin (sasaran) sehingga tidak operasional untuk program penyaluran bantuan langsung dan perlindungan sosial seperti bantuan langsung tunai (BLT), raskin, dan Jamkesmas.
Untuk penyaluran bantuan langsung yang memerlukan nama dan alamat target dibutuhkan data kemiskinan mikro. Pengumpulan datanya harus dilakukan secara sensus, bukan sampel. Berbeda dengan metode penghitungan kemiskinan makro yang menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, pengumpulan data kemiskinan mikro didasarkan pada ciri‐ciri rumah tangga miskin supaya pendataan bisa dilakukan secara cepat dan hemat biaya.
Jadi, sebetulnya tidak ada dua angka kemiskinan. Bila data 31,02 juta menunjukkan data penduduk miskin (pendekatan makro), sementara data 60,4 juta jiwa menunjukkan data individu penduduk miskin plus hampir miskin (pendekatan mikro). Selisih di antara keduanya menunjukkan besarnya penduduk hampir miskin. Mereka tidak tergolong miskin tetapi sangat rentan terhadap kemiskinan. Perlu kehati‐hatian dalam membandingkan kedua data kemiskinan tersebut karena metode penghitungan dan tujuan penggunaannya memang berbeda.
Pada dasarnya, kepedulian untuk mewujudkan
masyarakat yang lebih baik dan terbebas
dari kemiskinan telah berlangsung selama ini melalui berbagai upaya yang
dinilai strategis baik oleh warga masyarakat sendiri, maupun pemerintah, dan
pihak-pihak yang lain, seperti: LSM, swasta dan bahkan sebagian pesantren.
Upaya yang dilakukan beragam dan terus bergulir seperti yang ditawarkan
pemerintah antara lain: Kredit Ketahanan Pangan (KKP), Jaring Pengaman Sosial
(JPS), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Raskin, Askeskin, P2KP dan terakhir PNPM
mandiri dan masih banyak program lain. Kesemua program tersebut harus diakui
sudah memberikan kontribusi yang besar terhadap tahap awal pemberdayaan
masyarakat. Sayang bahwa di balik keberhasilan yang dicapai, belum diikuti bentuk program lain yang memberi sentuhan dari
aspek lain sehingga menghasilkan penanganan yang menyeluruh dan tuntas. Menurut
Prof. Dr Iman Santoso (2006) ada beberapa kesalahan paradigmatik dalam
memandang kemiskinan yakni:
a. Pembangunan yang berlangsung sementara ini masih
terlalu berorientasi ekonomi begitu juga saat memandang persoalan kemiskinan,
kita belum menelisik lebih jauh persoalan kemiskinan secara menyeluruh dari
hulu ke hilir. Pada hal yang sebenarnya kemiskinan mestinya dipandang dari
aspek multidimensional.
b.
Pembangunan lebih bernuansa karitatif ketimbang
produktivitas. Kita lebih banyak memandang kemiskinan dari kemurahatian.
Pemerintah yang murah hati itu yang mau memberi bantuan secara ekonomi dalam
bentuk modal/uang. Kondisi ini tidak memunculkan endorsement/dorongan dari
dalam dari pihak si miskin untuk bangkit dari keterpurukan. Justeru yang
terjadi adalah ketergantungan pada pihak lain dan akhirnya sulit diharapkan
untuk menjadi produktif dan mandiri.
c. Masyarakat miskin belum diposisikan sebagai
subyek tetapi justeru sebagai obyek.
d.
Pemerintah masih dominan berperan sebagai
penguasa bukan sebagai fasilitator. Jangan dilihat apa yang tidak dimiliki
orang miskin, tetapi lihatlah apa yang dimiliki olehnya jadikanlah potensi
personal diri.
B.
Indikator
Kemiskinan
Berdasarkan definisi kemiskinan yang telah dibahas
pada bab terdahulu maka Indikator-indikator kemiskinan sebagaimana di kutip
dari Badan Pusat Statistika, antara lain dirumuskan sebagai berikut:
1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan dan
papan).
2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan,
pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).
3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan
dan keluarga).
4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massa.
5.
Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya alam.
6.
Kurangnya apresiasi dalam kegiatan sosial masyarakat.
7.
Tidak adanya akses dalam lapangan kerja dan mata pencaharian yang
berkesinambungan.
8.
Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
9.
Ketidakmampuan dan ketidaktergantungan sosial (anak-anak terlantar, wanita
korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marginal dan terpencil).
Ada beberapa pihak yang kemudian membuat rincian lebih
detail tentang indikator kemiskinan terkait dengan ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan konsumsi dasar dan akses pelayanan sosial dasar yaitu ;
1.
Hidup dalam rumah dengan ukuran lebih kecil dari 8 M².
2. Hidup dalam rumah dengan lantai tanah atau lantai kayu berkualitas
rendah.
3. Hidup dalam rumah dengan dinding terbuat dari kayu berkualitas rendah.
4.
Hidup dalam rumah yang tidak dilengkapi dengan WC
5.
Hidup dalam rumah tanpa listrik
6.
Tidak mendapat fasilitas air bersih.
7.
Mengunakan kayu bakar, arang atau minyak tanah untuk memasak.
8.
Mengkonsumsi daging atau susu seminggu sekali.
9.
Belanja satu set pakaian baru setahun sekali
10.
Makan hanya sekali atau dua kali sehari
11.
Tidak mampu membayar biaya kesehatan pada puskesmas terdekat.
12.
Pendapatan keluarga kurang dari Rp. 600.000 per- bulan
13.
Pendidikan kepala keluarga hanya setingkat Sekolah Dasar.
14.
Memiliki tabungan kurang Rp. 500.000
15.
Memperkejakan anak dibawah umur.
16.
Tidak mampu membiayai anak sekolah.
C.
Akar
Penyebab Kemiskinan
Bila ditinjau dari akar penyebabnya kemiskinan secara
umum bisa diklasifikasikan dalam beberapa
golongan yaitu :
1.
Kemiskinan Struktural, yaitu kemiskinan yang diturunkan
dari orangtua ke anaknya, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Orang
tua yang miskin kemungkinan besar akan menghasilkan generasi berikutnya yang
miskin juga, karena dengan kemiskinannya orang tua kemungkinan tidak bisa
memberikan bekal pendidikan dan bekal lainnya yang memungkinkan anak untuk
berkembang dan meraih masa depan. Oleh sebab inilah kebanyakan kemiskinan
banyak terjadi.
2.
Kemiskinan Kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan
oleh aturan-aturan adat yang membatasi penguasaan akses-akses ekonomi dengan
alasan-alasan kultural. Dalam hal ini termasuk aturan aturan
pemerintah, negara yang berpengaruh me-marjinalkan seseorang atau kelompok
masyarakat.
3.
Kemiskinan Theologis, yaitu kemiskinan yang disebabkan
oleh interpretasi suatu ajaran tertentu yang menganggap bahwa kemiskinan
sebagai jalan hidup yang harus dijalani. Pada kasus ini kita akan sulit
sekali membedakan sikap “nrimo” dengan kemalasan, sederhana tidak sama dengan
miskin demikian juga menjalani kehidupan sederhana tidak berarti kita hidup
miskin.
4.
Kemiskinan Psikologis, yaitu kemiskinan yang disebabkan
oleh hambatan- hambatan psikologis sehingga potensi seseorang tidak
tereksplorasi secara maksimal.
.
II.
Kondisi faktual
kemiskinan di Kab. Tulungagung.
Pada
tahun 2009 pernah dilakukan sensus Pendataan Program Perlindungan Sosial
(PPLS 2009) yang menggambarkan kondisi kemiskinan faktual per 30 Oktober 2009
oleh Badan Pusat Statistik. Dan tata yang dihasilkan sebagaimana ditunjukkan
tabel 01. Dari tabel ini bisa dianalisa penyebaran kemiskinan per kecamatan,
pada daerah mana prosentase kemiskinan termasuk tinggi, lalu kemudian
bagaimana karakteristik masyarakat disitu akses ekonominya, interaksi
sosialnya, ketersediaan infrastruktur sosial dasar, dinamika masyarakat dan
aspek aspek lainnya.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Tabel. O1.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||
KECAMATAN
|
SANGAT
MISKIN (KK)
|
MISKIN (KK)
|
HAMPIR MISKIN (KK)
|
JUMLAH RTM (KK)
|
TIDAK MISKIN (KK)
|
JUMLAH (KK)
|
PROSENTASE
|
PROSENTASE
|
|||||||||||||||||||||||||||||
SANGAT MISKIN
|
MISKIN
|
HAMPIR MISKIN
|
TIDAK MISKIN
|
JUMLAH
|
KK
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
MISKIN
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||
1
(2+3+4)
|
2
(2+3+4)
|
3
(2+3+4)
|
4
(2+3+4)
|
5 (2+3+4)
|
6
(2+3+4)
|
7 (5+6)
|
8 (2/7)
|
9 (3/7)
|
10 (4/7)
|
11 (5/7)
|
12
(8+9+10+11)
|
13 (12-11)
|
|||||||||||||||||||||||||
[ 010 ] BESUKI
|
114
|
488
|
832
|
1.434
|
8.156
|
9.590
|
1,19
|
5,09
|
8,68
|
85,05
|
100
|
14,95
|
|||||||||||||||||||||||||
[ 020 ] BANDUNG
|
67
|
742
|
2.198
|
3.007
|
10.901
|
13.908
|
0,48
|
5,34
|
15,80
|
78,38
|
100
|
21,62
|
|||||||||||||||||||||||||
[ 030 ] PAKEL
|
182
|
1.363
|
1.695
|
3.240
|
12.760
|
16.000
|
1,14
|
8,52
|
10,59
|
79,75
|
100
|
20,25
|
|||||||||||||||||||||||||
[ 040 ] CAMPUR DARAT
|
415
|
1.177
|
506
|
2.098
|
13.934
|
16.032
|
2,59
|
7,34
|
3,16
|
86,91
|
100
|
13,09
|
|||||||||||||||||||||||||
[ 050 ] TANGGUNG GUNUNG
|
83
|
982
|
1.342
|
2.407
|
5.399
|
7.806
|
1,06
|
12,58
|
17,19
|
69,16
|
100
|
30,84
|
|||||||||||||||||||||||||
[ 060 ] KALIDAWIR
|
336
|
1.739
|
2.439
|
4.514
|
12.822
|
17.336
|
1,94
|
10,03
|
14,07
|
73,96
|
100
|
26,04
|
|||||||||||||||||||||||||
[ 070 ] PUCANG LABAN
|
33
|
495
|
1.128
|
1.656
|
5.721
|
7.377
|
0,45
|
6,71
|
15,29
|
77,55
|
100
|
22,45
|
|||||||||||||||||||||||||
[ 080 ] REJOTANGAN
|
418
|
2.069
|
2.110
|
4.597
|
14.534
|
19.131
|
2,18
|
10,81
|
11,03
|
75,97
|
100
|
24,03
|
|||||||||||||||||||||||||
[ 090 ] NGUNUT
|
616
|
1.643
|
1.026
|
3.285
|
18.757
|
22.042
|
2,79
|
7,45
|
4,65
|
85,10
|
100
|
14,90
|
|||||||||||||||||||||||||
[ 100 ] SUMBERGEMPOL
|
454
|
1.556
|
1.482
|
3.492
|
14.970
|
18.462
|
2,46
|
8,43
|
8,03
|
81,09
|
100
|
18,91
|
|||||||||||||||||||||||||
[ 110 ] BOYOLANGU
|
538
|
1.998
|
1.608
|
4.144
|
19.170
|
23.314
|
2,31
|
8,57
|
6,90
|
82,23
|
100
|
17,77
|
|||||||||||||||||||||||||
[ 120 ] TULUNGAGUNG
|
818
|
1.368
|
507
|
2.693
|
13.107
|
15.800
|
5,18
|
8,66
|
3,21
|
82,96
|
100
|
17,04
|
|||||||||||||||||||||||||
[ 130 ] KEDUNGWARU
|
1.026
|
2.006
|
1.220
|
4.252
|
18.714
|
22.966
|
4,47
|
8,73
|
5,31
|
81,49
|
100
|
18,51
|
|||||||||||||||||||||||||
[ 140 ] NGANTRU
|
436
|
1.468
|
866
|
2.770
|
11.912
|
14.682
|
2,97
|
10,00
|
5,90
|
81,13
|
100
|
18,87
|
|||||||||||||||||||||||||
[ 150 ] KARANGREJO
|
155
|
896
|
942
|
1.993
|
8.572
|
10.565
|
1,47
|
8,48
|
8,92
|
81,14
|
100
|
18,86
|
|||||||||||||||||||||||||
[ 160 ] KAUMAN
|
1.068
|
2.196
|
744
|
4.008
|
10.821
|
14.829
|
7,20
|
14,81
|
5,02
|
72,97
|
100
|
27,03
|
|||||||||||||||||||||||||
[ 170 ] GONDANG
|
530
|
2.178
|
1.536
|
4.244
|
13.235
|
17.479
|
3,03
|
12,46
|
8,79
|
75,72
|
100
|
24,28
|
|||||||||||||||||||||||||
[ 180 ] PAGER WOJO
|
93
|
850
|
1.083
|
2.026
|
7.079
|
9.105
|
1,02
|
9,34
|
11,89
|
77,75
|
100
|
22,25
|
|||||||||||||||||||||||||
[ 190 ] SENDANG
|
520
|
2.248
|
1.646
|
4.414
|
9.118
|
13.532
|
3,84
|
16,61
|
12,16
|
67,38
|
100
|
32,62
|
|||||||||||||||||||||||||
JUMLAH KAB. TULUNGAGUNG
|
7.902
|
27.462
|
24.910
|
60.274
|
229.682
|
289.956
|
2,73
|
9,47
|
8,59
|
79,21
|
100
|
20,79
|
|||||||||||||||||||||||||
Secara
nasional terdapat dikotomi kemiskinan antara perdesaan dan perkotaan karena
memang pendekatannya melihat karakteristik kemiskinan masyarakat rural dan
urban, namun bila melihat kondisi faktual kemiskinan di Kabupaten Tulungagung sepertinya
tidak menampakkan perbedaan yang signifikan antara keduanya, karena hampir 100%
masyarakat Tulungagung adalah masyarakat rural atau berkultur rural. Dengan
memperhatikan karakteristik kemiskinan tersebut identifikasi kemiskinan di Kab.
Tulungagung lebih sesuai dengan menggunakan pendekatan Cluster komunitas, yaitu pada golongan masyarakat mana kemiskinan
banyak terjadi, stratifikasi ini memungkinkan untuk melakukan mapping
berdasarkan demografi penduduk, secara
garis besar cluster kemiskinan di Tulungagung meliputi;
1. Petani kecil dan buruh tani
Jumlah
penduduk miskin pada cluster ini cukup besar, di semua kecamatan yang merupakan
daerah pertanian angka kemiskinan yang terdata pasti berasal dari Cluster ini.
Penyebab kemiskinan cluster ini karena penguasaan lahan yang sangat sempit dan atau
posisi mereka yang hanya sebagai buruh tani/petani penggarap. Kebijakan pembangunan sektor pertanian selama
ini yang berorientasi pada peningkatan produksi tidak berpengaruh pada
peningkatan pendapatan mereka, karena revenue
pertambahan produksi prosentase terbesarnya kembali kepada pemilik lahan. Untuk
sekedar survive mereka harus bekerja sangat keras di banyak jenis pekerjaan
dengan jam kerja yang sangat panjang, mulai sehabis subuh sampai menjelang
maghrib.
2. Nelayan kecil dan buruh nelayan.
Permasalahan
kemiskinan pada Cluster ini karena keterbatasan sarana produksi berupa kapal
atau perahu, jaring dan lainnya sehingga menyebabkan covered area penangkapan
yang bisa mereka jangkau sangat terbatas. Pada sisi lain mereka juga sangat
tergantung pada musim dan kondisi cuaca, demikian juga pada masa panen ikan
harga jual pasti jatuh, kondisi ini diperparah dengan tidak dikuasainya
tekhnologi pengolahan Post Harvest, dan
belum adanya hasil ikan dari budidaya.
3.
Masyarakat pinggiran hutan.
Nasib
mengenaskan dialami masyarakat pinggiran hutan, mereka terbelenggu kemiskinan
ditempat yang sebenarnya berlimpah sumber daya alam. Kemiskinan yang mereka
alami disebabkan kebijakan negara yang tidak berpihak kepada mereka, penguasaan
sumber daya alam oleh negara mematikan akses ekonomi, dan disisi lain Benefit Delivery Return dari hasil
pengelolaan sumber daya alam hutan tidak ada yang kembali pada mereka. Seperti
yang dialami buruh tani untuk Survive mereka terkadang meninggalkan tempat
tinggal untuk menjadi buruh migran di tempat lain atau di luar negeri untuk
beberapa waktu.
4.
Kaum Buruh.
Sebagaimana fenomena global
kemiskinan kaum buruh disebabkan oleh upah murah yang masih terjadi sampai
kini. Terjadinya upah murah disebabkan oleh kesenjangan antara kesempatan kerja
yang tersedia dan jumlah pencari kerja sehingga menyebabkan bargaining
position, posisi tawar buruh menjadi rendah terhadap majikan, dan juga kondisi
buruh kita yang memang bukan Skilled and
Trained Qualification. Demikian juga kebijakan upah murah ternyata masih menjadi daya tarik investasi disini.
5.
Pekerja
sektor informal.
Pekerja sektor informal di
Kabupaten Tulungagung meliputi Pedagang Kaki Lima (PK 5), Pedagang kecil di
pasar pasar Tradisional, abang becak dll. Kemiskinan cluster ini disebabkan
oleh keterbatasan akses lokasi berusaha/berjualan yang representatif dan permanen
karena sering berbenturan dengan aspek ketertiban dan keindahan. Juga oleh
persaingan dengan pihak lain yang lebih mapan dalam permodalan, jaringan dan
mengadopsi modernitas kekinian.
6.
Penyandang
disabilitas, anak-anak dan lanjut usia terlantar
Sebagai penyandang disabilitas,
dan pribadi yang belum matang atau sudah menurun kemiskinan yang dialami karen
keterbatasan keterbatasan fisik dan psikis sehingga potensi yang dimiliki tidak
tereksplorasi secara maksimal.
III. Arah
Kebijakan
A.
Arah
Kebijakan Pembangunan.
Arah kebijakan
pembangunan dalam rangka penanggulangan kemiskinan karena sifatnya yang multi
dimensional tidak bisa dilakukan secara parsial, tetapi harus terintegrasi secara
utuh dengan Grand Design pembangunan secara umum dan tercantum secara jelas pada
Blue Print kebijakan pembangunan jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Artinya
bahwa dalam setiap kebijakan strategis sampai pada aplikasi tekhnis dilapangan
semuanya harus mencerminkan keberpihakan yang nyata pada kepentingan kelompok
masyarakat miskin, kelompok rentan dan kelompok marjinal lainnya, prinsip ini
sering disebut dengan Pro poor planning
and budgeting, perencanaan dan penganggaran yang berorientasi pada kelompok
masyarakat miskin, dalam konteks Indonesia mungkin identik dengan program
ekonomi kerakyatan.
Peranan yang harus dilakukan pemerintah sebagai
wujud keberpihakan kepada masyarakat miskin adalah melakukan proteksi baik dalam bentuk regulasi
maupun kebijakan melalui instrumentasi sosial dan ekonomi. Salah satu wujud
dari proteksi itu adalah pemberian previledge bagi penyertaan kelompok
masyarakat miskin dalam kegiatan dan proyek proyek pembiayaan pemerintah, serta
kesempatan yang lebih luas bagi keterlibatan masyarakat miskin untuk
pengelolaan pembangunan partisipatif secara mandiri. Kebijakan ini kelihatannya diskriminatif, namun bila
dipikir secara mendalam adalah suatu ketidakadilan mengadu kelompok masyarakat
miskin dengan kelompok pengusaha dalam gelanggang yang sama, karena tentu
segmentasinya berbeda. Pemberian ruang
yang lebih luas kepada masyarakat miskin untuk meningkatkan penguasaan akses
ekonomi dengan memberlakukan segmentasi ekonomi merupakan wujud nyata keadilan
sosial.
Dengan kewenangan yang
dimiliki,
pemerintah harus bisa memfungsikan diri sebagai pembuka jendela peluang (windows of opportunity) bagi
khususnya masyarakat miskin untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
guna memformulasikan jenis pelayanan publik yang tepat bagi mereka, karena
nampaknya kebijakan apapun dari pemerintah akan kurang bermakna bila tidak bisa
menjangkau kelompok – kelompok masyarakat miskin. Rakyat miskin haruslah menjadi pangkal tolak,
pusat dan sekaligus tujuan akhir dari setiap upaya pembangunan (cernea, 1985). Seorang pemilik lahan kecil, penyewa lahan
garapan, buruh tani dan kelompok marjinal lainnya merupakan pihak yang lemah
jika tidak ada orang atau aparatur yang mampu mengartikulasikan kepentingannya
dan mau memperhatikan atau memperjuangkan nasibnya.
Melihat
kondisi faktual kemiskinan di Kab. Tulungagung, Hal hal penting dalam penetrasi
kebijakan yang harus dilakukan sebagai manifestasi keberpihakan pada masyarakat miskin adalah
sbb;
1.
Perlindungan
dan revitalisasi sumber daya serta akses ekonomi.
Kepemilikan sumber daya dan
akses ekonomi merupakan komponen utama bagi masyarakat miskin untuk membebaskan
diri dari kemiskinan yang dialami, oleh karenanya sangat penting bagi pemerintah untuk
memberikan proteksi, perlindungan pada sumber daya dan akses ekonomi yang selama
ini sudah dikuasai dan menjadi tempat mencari penghidupan (base operation) bagi kelompok masyarakat rentan dan miskin agar
terjamin keberlangsungannya. perlindungan tersebut berupa regulasi dan
kebijakan yang dilaksanakan secara konsisten dan bertanggung jawab.
Bentuk – bentuk perlindungan
tersebut antara lain;
- Perlindungan
tempat tempat dan kawasan yang menjadi base operation masyarakat miskin dalam
mencari nafkah.
Pemberlakuan segmentasi ekonomi salah satu bentuk riilnya
adalah pembatasan ruang bagi pengusaha besar, konglomerasi, franchise baik
asing maupun lokal pada wilayah yang menjadi base operation masyarakat miskin,
pengusaha lemah, pedagang kecil dan pasar tradisional. Misalnya pelarangan atau
pembatasan ijin bagi perusahaan retail nasional pada wilayah wilayah kecamatan
karena masuknya mereka kesuatu wilayah kecamatan tentu akan berpengaruh pada
pedagang kecil mulai dari penurunan omset sampai kebangkrutan. Sebagai kelompok
rentan invasi pihak luar bisa memberikan guncangan yang membuat terjadinya
penurunan derajat kesejahteraan secara masif.
- Pemberian akses kepemilikan lahan dan
pengelolaan sumber daya alam.
Pada kasus kemiskinan yang dialami masyarakat
pinggiran hutan adalah sebuah ironi mengingat keberadaan mereka didekat sumber
daya alam yang besar, masalah disini
terjadi karena tidak adanya hak penguasaan lahan dan akses pengelolaan hutan, jika
kemudian kepemilikan aset menjadi salah satu indikator kemiskinan maka
masyarakat pinggiran hutan akan miskin selamanya. Bila memang pengalihan aset
kepada masyarakat tidak memungkinkan dari sisi peraturan perundang undangan
mungkin bisa dilakukan sistem kerjasama baru yang mengkompromikan semua
kepentingan termasuk ekonomi dan ekologi. Terobosan baru sangat diperlukan
mengingat prosentase kemiskinan di
Cluster ini sangat tinggi khususnya di Kec. Tanggunggunung, Pucanglaban,
sendang dan pagerwojo serta jumlah populasinya besar dan kepemilikan hutan oleh institusi negara
selama ini tidak memberikan Benefit
delivery return yang cukup bagi masyarakat.
Termasuk dalam hal ini pengelolaan sumber daya
alam, bahan tambang, harus sebesar mungkin melibatkan rakyat dan masyarakat
miskin khususnya, artinya bila masyarakat secara mandiri maupun bersama sama
mampu mengolah dan mengelola maka tidak perlu mendatangkan investor dari luar,
kalaupun terpaksa harus mendatangkan investor dari luar sebaiknya pengolahannya
harus dilakukan disini. Prinsipnya adalah masyarakat Tulungagung harus sebesar
mungkin mendapat nilai tambah dari sumber daya yang ada.
- Pengalokasian
lokasi strategis untuk PK5 dan UMKM.
Meski
dalam lingkup kecil PKL dan UMKM adalah entrepreneur (wirausahawan) dengan
motivasi, keuletan, inovasi dan daya survival yang kuat, terbukti merekalah
yang mampu berkelit dari deraan krisis dan mampu beradaptasi dengan situasi
perekonomian yang fluktuatip. Jiwa dan semangat entrepreneurship yang mereka
miliki semestinya dipupuk, dikembangkan dan difasilitasi bukan malah dimatikan
dengan alasan alasan yang tidak substansial.
Daya
serap sektor informal terhadap kesempatan kerja dan berusaha jauh lebih besar
dibandingkan dengan Pusat Perbelanjaan Modern, coba kita telaah dengan logika
yang paling sederhana saja, dengan asumsi akses lokasi dan segmen market yang
sama, berapa jumlah pedagang yang bisa tertampung pada lahan seluas 1 hektar,
bila setiap PKL dibantu 2 orang saja berapa orang yang terlibat pada kegiatan
usaha disitu, dan bila setiap pedagang mengambil dagangan dari daerah setempat,
sudah berapa unit kerja terhidupi dengan order yang teratur dan
berkesinambungan. Walau mungkin sirkulasi keuangan yang terjadi tidak sebesar
pusat perbelanjaan Modern namun nilai manfaat social (Social Value) nya jauh
lebih besar dan sekaligus aspek pemerataan Penguasaan Akses akses ekonomi akan
tercapai.
Bila
selama ini PKL identik dengan kesemrawutan dan ketidakteraturan itu bisa
dipahami karena dalam sejarahnya memang tidak ada PKL itu suatu yang
direncanakan, PKL selalu lahir dari ketidakberdayaan dan keterpaksaan . Akan
berbeda bila Pemerintah mengalokasikan lahan secara khusus untuk PKL, tentu
saja lahan yang cukup strategis, dengan bangunan yang representatif, mempertimbangkan
nilai nilai estetika, desain penataan tata ruang yang baik, regulasi beserta
penerapannya yang jelas dan konsisten, maka kenyamanan dan ketertiban pasti
bukan sesuatu yang sulit untuk dicapai.
Kebijakan penanganan PKL tidak bisa dilakukan secara Parsial, tapi harus
menyeluruh, terintegrasi dengan Blueprint Masterplan tata ruang kota dan menyentuh akar permasalahan
sesungguhnya. Tidak pula dengan
merelokasi mereka ke tempat lain dipinggiran kota, karena dalam hal ini
Mekanisme Pasar yang berbicara, tentu tidak bisa PKL dipaksa berjualan ditempat yang tidak
nyaman kotor, sepi dan jauh dari pembeli.
Memang
bukan suatu yang mudah untuk mewujudkan obsesi ini, dan belum ada suatu
referensi yang bisa dipakai bahan rujukan untuk mengukur tingkat keberhasilan
program, karena memang belum ada daerah lain yang menyelesaikan masalah PKL
dengan pola pendekatan Kebijakan seperti ini. Harus disadari untuk membangun
“penampungan” PKL dengan Bangunan, Infrastruktur, dan Fasilitas Modern,
Penataan tata ruang yang baik dan pada lokasi yang strategis memerlukan
Political Will, Itikad baik dan Komitmen yang kuat dari Pemerintah. Hampir
hampir tidak mungkin ada Investor atau Konsorsium Swasta mau membiayai proyek
seperti ini karena Return Of Invesment
yang sulit dicapai dalam waktu singkat dan Margin Keuntungan yang tidak
Signifikan. Namun perlu dipertimbangkan bahwa dengan berkembangnya PKL menjadi
suatu unit usaha secara linier juga akan meningkatkan pendapatan asli daerah
dari sisi retribusi dan Tax Revenue (pengembalian pajak). Satu
hal yang jelas bisa dicapai dengan pemberdayaan Pekerja Mandiri Sektor Informal
(khususnya PKL) adalah berkurangnya jumlah pengangguran, terentasnya kelompok
ini dari kemiskinan dan tumbuhnya perekonomian sektor riil UMKM (usaha menengah
kecil dan mikro) serta tercapainya
pemerataan penguasaan akses akses ekonomi tanpa mengorbankan keindahan dan ketertiban. Dan bahkan bisa
jadi terbentuknya kawasan PKL yang baik, khususnya penyedia jasa kuliner, akan
mendukung kelestarian warisan Kuliner nusantara dan bisa dikembangkan
menjadi obyek wisata yang menarik.
Dari
kenyataan selama ini hanya sektor jasa kuliner
berbasis tradisional yang tidak bisa dimasuki oleh pemain asing sehingga
nantinya bila pasar bebas global benar benar diterapkan maka sektor ini mungkin
satu satunya yang masih sanggup mempertahankan local branded dan identitas Indonesia. Sebagai bukti ketika ACFTA (asean-china free trade agreement)
dilaksanakan beberapa tahun yang lalu, ketika banyak sektor lain terutama
sektor manufaktur menjerit, sektor kuliner berbasis tradisional masih bisa
berkembang. Bagaimanapun kita harus jujur bahwa perut kita lebih familier
dengan nasi lodho daripada pizza, dan lidah kita lebih nyaman dengan keripik
tempe daripada french-fries.
-
Mengembangkan produk unggulan daerah yang
dilakukan dengan basis produksi padat karya.
Dalam
konteks ini kita telah berhasil mengembangkan batik Tulungagung menjadi ikon
daerah dan sanggup bersaing di pasar nasional sehingga secara signifikan bisa
meningkatkan pendapatan para pembatik yang mayoritas ibu ibu. Kita bisa
melakukan hal serupa untuk produk lain seperti krupuk rambak, geti, kacang
sanghai, kerajinan perabot rumah tangga (sapu, keset), konveksi dan banyak lagi
produk kerajinan serta kuliner khas Tulungagung, caranya melalui keikutsertaan
di even even kegiatan, maupun mengadakan sendiri acara acara bazaar kuliner
lokal tradisional secara reguler maupun berkala.
-
Peningkatan produktivitas
keluarga.
Produktivitas
adalah basis untuk menggerakkan perekonomian demi peningkatan pendapatan.
Pendekatannya bisa melalui peningkatan peran ibu rumah tangga melalui
pembentukan unit unit usaha yang dikelola ibu ibu secara berkelompok. Konsep
ini mungkin cocok untuk keluarga buruh tani di perdesaan dan nelayan, karena
biasanya ibu ibu masih punya sedikit waktu luang yang bisa digunakan untuk
kegiatan produktif dengan memanfaatkan potensi lokal disekitarnya, dan tingkat
kekerabatan kebersamaan antar warga masih relatif bagus sehingga menunjang
aplikasi konsep ini.
2.
Penyediaan Akses
Kebutuhan Sosial Dasar yang merata, murah dan berkualitas.
-
Pendidikan
Di masa yang akan datang, knowledge
base for reducing poverty, pengurangan
kemiskinan berbasis pengetahuan, akan terus relevan. Banyak negara telah
membuktikan bahwa keunggulan ilmu pengetahuan dan tekhnologi sangat berperan
pada kemajuan dan kesejahteraan meski negara tersebut minim sumber daya alam. Dengan
penguasaan ilmu dan pengetahuan akan banyak kesempatan terbuka, akan banyak
kemungkinan kita survive dalam persaingan global. Dan satu satunya jalan meraih
ilmu pengetahuan adalah melalui pendidikan dalam arti luas, oleh
karenanya sangat diperlukan terbukanya kesempatan menempuh pendidikan bagi
semua orang pada semua level dengan pendidikan yang berkualitas. Yang perlu diperhatikan dalam kebijakan bidang
pendidikan khususnya terkait dengan Knowledge base for reducing poverty adalah
integrasi pendidikan dengan dinamika perubahan global, sehingga kurikulum
pendidikan selalu up date dan bisa diaplikasikan serta output pendidikan selalu
sesuai dengan perkembangan jaman.
Sesuai fungsinya sekolah
sebagai institusi pendidikan harus fokus pada mekanisme transfer pengetahuan
mengingat jam belajar yang terbatas, mengenai pembentukan karakter, sekolah
hanya bersifat supporting saja, karena sebenarnya pembentukan karakter anak
lebih pada interaksinya di rumah/keluarga dan lingkungan.
Jadi kondisi pengasuhan dirumah
dan lingkungan yang sehat perlu diupayakan dalam rangka mendukung keberhasilan
tujuan pendidikan.
- Kesehatan
Aspek kesehatan sangat
berpengaruh pada kemiskinan, seseorang yang bertahun tahun bekerja keras,
menyimpan sedikit demi sedikit uang untuk investasi akan kembali jatuh miskin
ketika suatu saat menderita sakit dan harus mendapatkan perawatan di rumah
sakit mengingat biaya perawatan masih mahal. Demikian juga seorang yang sering
sakit sakitan bisa dipastikan tidak sanggup menata kehidupannya dengan baik dan
akhirnya jatuh miskin. Maka disinilah sebenarnya urgensi dari penyediaan sarana
pelayanan kesehatan yang terjangkau di seluruh wilayah dan dengan pelayanan
yang berkualitas, agar tercipta masyarakat yang bukan saja unggul secara
keilmuan namun juga kuat dan sehat secara fisik. Bagi masyarakat miskin harus ada jaminan
bahwa kebutuhan pelayanan kesehatan mereka di penuhi oleh pemerintah dengan
baik.
-
Pangan
Pangan merupakan kebutuhan
pokok yang tidak bisa ditunda pemenuhannya ketersediaan bahan pangan dengan
jumlah yang cukup, bagus kualitas dan kandungan nutrisinya serta dalam harga
yang terjangkau sangat diperlukan bagi masyarakat apalagi masyarakat miskin.
Oleh karenanya campur tangan pemerintah sangat diperlukan untuk menjamin
ketersediaan pangan karena hal ini juga menyangkut ketahanan daerah dan
ketahanan nasional.
Program seperti Raskin perlu
dilanjutkan dengan beberapa perbaikan terkait kualitas beras dan jangkauan
sasaran.
- Perumahan
Perumahan
adalah kebutuhan pokok lain setelah pangan dan sandang, dalam rumah yang layak
interaksi sosial yang baik antar anggota keluarga akan terbangun sehingga
menumbuhkan keluarga yang mempunyai ketahanan sosial, selanjutnya ketahanan
sosial dalam keluarga ini akan mendukung terciptanya ketahanan masyarakat serta
ketahanan bangsa dan negara. Ketahanan sosial sendiri didefinisikan sebagai
kondisi dinamis yang memungkinkan keluarga dan masyarakat mengatasi masalahnya
sendiri secara mandiri, sehingga masalah yang timbul tidak membesar menjadi
masalah regional dan nasional.
Namun pemenuhan perumahan bukanlah perkara
gampang, untuk membangun rumah layak huni diperlukan biaya yang lumayan besar
yang hampir pasti sulit dipenuhi oleh masyarakat miskin. Untuk itu campur
tangan pemerintah sangat diperlukan demi pemenuhan rumah yang layak huni.
Secara tekhnis rumah layak huni harus memenuhi
prasyarat kesehatan, keamanan dan kesusilaan. Syarat kesehatan berarti rumah
mempunyai sanitasi yang baik, ventilasi untuk sirkulasi udara dan sistem
pencahayaan yang memadai. Syarat keamanan berarti rumah bisa melindungi
penghuninya dari bencana seperti gempa, angin puting beliung dan ancaman dari
kejahatan manusia dan binatang buas serta prasyarat kesusilaan berarti penghuni
dalam rumah mendapatkan privasi untuk melakukan aktivitas sebagai suami istri
dan sebagai individu
B.
Aplikasi
Program
Program penanggulangan
kemiskinan merupakan penjabaran dari kebijakan pembangunan, sehingga semua
program yang diluncurkan harus sejalan dan saling bersinergi untuk pencapaian
tujuan yang digariskan dalam arah kebijakan pembangunan.
Penyusunan program pembangunan
dalam rangka penanggulangan kemiskinan harus sudah memakai indikator indikator
spesifik yang membuat capaian kinerja pelaksanaan program bisa diukur dan
dipertanggungjawabkan secara scientific,
ilmiah. Dalam hal ini penting bagi pelaksana program untuk mendiagnosa akar
permasalahan kemiskinan sasaran program orang per orang untuk kemudian
merumuskan solusi yang diambil, demikian juga penting untuk kita bisa
membedakan antara kebutuhan sasaran dan keinginan sasaran. Pada saat tertentu
keinginan sasaran sejalan dengan kebutuhan namun bisa jadi keinginan sasaran
sebenarnya bukan sesuatu yang benar benar dibutuhkan, nah disinilah sebenarnya fungsi
aparatur pemerintah yang responsif, akuntabel diperlukan.
Program dalam rangka
penanggulangan kemiskinan dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) jenis yaitu
1.
Rehabilitasi
Sosial.
Program
rehabilitasi sosial merupakan upaya yang dilakukan untuk menghilangkan hambatan
hambatan psikologis yang meyebabkan potensi seseorang tidak bisa tereksploitasi
secara maksimal sehingga terbelenggu dalam kemiskinan. Jenis kegiatan yang
dilakukan berupa bimbingan mental spiritual, bimbingan motivasi, bimbingan
kepribadian sampai pada theraphy bila memang diperlukan. Tujuan akhir dari
rehabilitasi sosial adalah terciptanya transformasi pola pikir dan tingkah laku
menuju pribadi berperilaku positif, manifestasinya adalah sebagai berikut ;
a.
Pribadi terbuka yang bisa berbagi dengan orang lain (bermasyarakat),
b.
Menghargai norma dan ketentuan yang berlaku di masyarakat
c.
Mempunyai rasa percaya diri dalam
proporsi yang wajar.,
d.
Mau bekerja keras,
e.
Dinamis, mau mencoba hal hal baru
f.
Kreatif
g.
Produktif .
Pada
fase inilah sebenarnya tantangan terbesar bakal dialami, karena merubah mentalitas bukanlah perkara
gampang, bisa jadi akan memerlukan banyak waktu dan kerja keras baik oleh aparatur
pelaksana program maupun sasaran program. Namun bagaimanapun mentalitas adalah
fondasi dasar bagi pelaksanaan program dan sangat menentukan pencapaian tujuan
akhir, sehingga harus dilaksanakan dengan sungguh sungguh.
2.
Pemberdayaan
Sosial.
Pemberdayaan sosial merupakan kegiatan untuk mengangkat derajat
kesejahteraan masyarakat agar dapat mencapai taraf yang lebih baik sehingga
dapat melaksanakan fungsi sosialnya dalam pranata kemasyarakatan secara baik.
Pemberdayaan dalam rangka
pengentasan kemiskinan meliputi
pemberdayaan personal dan pemberdayaan ekonomi. Pemberdayaan personal
masyarakat miskin ditujukan untuk meningkatkan kapasitas pribadi (personal capacity) dan Kapasitas
Kelompok (community capacity).
Peningkatan Kapasitas Pribadi (Personal
Capacity) merujuk pada peningkatan
Intelektualitas dan kematangan Psycho-Emotional (psycho emotional maturity).
Peningkatan Intelektualitas berwujud pada kemampuan untuk mencerna dan
menganalisa masalah serta menemukan solusi, dan
peningkatan life skill ketrampilan yang sangat diperlukan sebagai
senjata untuk survive dalam persaingan. Kematangan Psycho-Emotional adalah
kemampuan mengelola emosi, stimulus stimulus internal dan eksternal serta
penempatan rasionalitas dalam penyikapan keadaan, wujud dari kematangan
Psycho-Emotional bisa membimbing agar peningkatan kapasitas pribadi masyarakat
miskin tetap selalu dalam koridor norma hukum, norma sosial dan norma agama,
serta semua upaya pemberdayaan yang telah dilakukan mempunyai implikasi positif
dan konstruktif terhadap Pola Kebijakan Pembangunan secara Makro.
Peningkatan kapasitas
kelompok (community capacity) diperlukan untuk meningkatkan posisi tawar
(bargaining position) masyarakat miskin terhadap dunia luar serta
membuka akses masyarakat miskin terhadap pelayanan publik. Peningkatan
kapasitas kelompok bisa ditempuh melalui pemberdayaan kelompok kelompok dalam
masyarakat baik itu kelompok usaha bersama maupun jenis kelompok lainnya.
Pemberdayaan Ekonomi adalah pemberian suatu jenis pekerjaan atau usaha
ekonomi produktif kepada masyarakat
miskin sehingga ada suatu jenis usaha dan pekerjaan permanen yang bisa
dijadikan penopang utama dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari hari. Guna
mewujudkan pemberdayaan Ekonomi harus ada parameter specifik yang bisa
dipertanggung jawabkan secara ilmiah dalam hal jenis bantuan, jumlah bantuan,
jenis pendampingan dan durasi program. Jenis Bantuan harus disesuaikan dengan
daya dukung alam sekitar baik demi keberlangsungan usaha dan pemasarannya,
untuk jumlah bantuan harus ada analisa dalam jumlah minimal berapa suatu jenis
usaha untuk orientasi bisnis bisa diusahakan dengan sistem industri rumahan (home industri).
Jenis pendampingan yang
dilakukan dalam pengentasan kemiskinan harus bisa mengawal keseluruhan program
dari awal sampai saat dimana masyarakat miskin mempunyai kemampuan untuk
mandiri dan mempunyai kesanggupan untuk bersaing. Oleh karena itu seringkali program
pengentasan kemiskinan tidak bisa dilakukan secara Instansional
mengingat bahwa pendampingan yang harus dilakukan menyangkut banyak aspek
dengan intensitas kegiatan yang tinggi dan memerlukan banyak assesment dengan
sentuhan pribadi (personal touch). Durasi
pendampingan hendaknya dalam jangka panjang, mengingat pemberdayaan masyarakat
miskin adalah upaya untuk mengubah pola pikir dan pola tindakan dari konsepsi
tradisional menuju konsepsi modern, dari konsepsi agraris menuju konsepsi
industrialis. Muara dari pendampingan menuju pemberdayaan ekonomi adalah
terbentuknya jiwa enterpreneurship dalam diri masyarakat miskin yang ditopang
oleh kecukupan kapasitas pribadi dan
kapasitas kelompok.
Proses menuju pemberdayaan
masyarakat miskin baik itu pemberdayaan personal maupun pemberdayaan ekonomi
merupakan fase krusial yang sangat menentukan dalam keseluruhan assesment
penanggulangan kemiskinan sehingga pemahaman indikator indikator keberhasilan
dalam tiap tahapan program harus benar benar diperhatikan sebelum melangkah
ketahapan berikutnya.
Kemandirian masyarakat
miskin didefinisikan sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari
hari secara layak dan kemampuan untuk berpikir, bertindak serta
mengaktualisasikan eksistensi diri dalam pranata sosial kemasyarakatan.
Sehingga relasi dalam interaksi sosial bukan lagi hubungan atas bawah,
superior-inferior atau ordinat-sub ordinat tetapi sebagai mitra sejajar yang
mempunyai ekualitas dalam pemenuhan hak dan kewajiban. Kemandirian dalam
pemenuhan kebutuhan hidup sehari hari secara layak dalam arti tidak adanya
ketergantungan kepada pihak lain berimplikasi positif terhadap meningkatnya
rasa percaya diri, dari konfidensi ini nantinya diharapkan muncul survivalitas dalam mengarungi kompetisi.
Mengingat bahwa kompleksitas permasalahan dalam kehidupan sangat bervariasi dan
berfluktuasi sehingga kemampuan untuk survive sangat diperlukan agar upaya
pemberdayaan yang telah dijalankan tidak mentah kembali.
Kelestarian
(sustainability) dimaksudkan sebagai jaminan kepada masyarakat miskin akan
keberlangsungan perikehidupan mereka serta pengembangannya, dalam fase ini
konsistensi pemerintah dalam me-regulasi kebijakan yang berpihak pada
masyarakat miskin dan assistensi yang intensif sangat diperlukan. Pada tahap
ini pemerintah perlu membangun, memfasilitasi terbentuknya jaringan kerja yang
luas sehingga memungkinkan bagi masyarakat miskin untuk mengembangkan diri.
3.
Bantuan
Sosial
Bantuan sosial
adalah program yang dilakukan untuk mempertahankan derajat kesejahteraan
masyarakat dari penurunan akibat pengaruh eksternal yang tidak terhindarkan seperti
bencana, kebijakan pemerintah dan kondisi force majeur lainnya, bantuan kepada masyarakat yang karena kondisi
fisik dan kejiwaannya tidak memungkinkan dilakukan upaya lainnya serta bantuan
pemenuhan kebutuhan pokok yang tidak mungkin bisa dipenuhi oleh penduduk miskin
secara mandiri. Jenis kegiatan yang dilakukan dalam program ini adalah;
a.
Bantuan
sosial kepada korban bencana alam dan bencana sosial.
b.
Bantuan
terkait penyesuaian harga BBM
c. Bantuan pemenuhan kebutuhan pokok untuk anak
anak dipanti asuhan, anak terlantar dalam asuhan keluarga dan lanjut usia
terlantar
d.
Bantuan
untuk penyandang cacat dan disabilitas
e.
Bantuan
rehab rumah tidak layak huni.
f.
Dll.
IV.
Penutup.
Penanggulangan
kemiskinan tidak akan habis untuk dibahas karena topik ini akan selalu up date
sepanjang zaman, sepanjang masa. Banyak teori dan konsep dilahirkan, namun kita
tidak perlu berpolemik berkepanjangan karena setiap teori dan konsep
berbasiskan pada pemikiran dan kajian masing masing, namun yang terpenting
adalah program penanggulangan kemiskinan haruslah program jangka panjang yang berkelanjutan dan
”pure” untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan bukan program instant
jangka pendek apalagi dengan tujuan tujuan politis dan publisitas.