Kamis, 06 April 2017

KONSEPSI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KABUPATEN TULUNGAGUNG (dalam perspektif sosial)


KONSEPSI DASAR PENANGGULANGAN KEMISKINAN
DI KAB. TULUNGAGUNG


I.      Pendahuluan
A.    Definisi Kemiskinan
Secara umum masyarakat miskin ditandai adanya ketidakberdayaan atau ketidakmampuan (powerlessness) dalam hal: a) memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan (basic need deprivation); b) melakukan kegiatan yang tidak produktif (unproductiveness); c) tidak bisa menjangkau akses sumber sosial dan ekonomi (inaccessability); d) menentukan nasibnya sendiri dan senantiasa mendapatkan perlakukan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis dan vatalistik (vurnerability) dan; e) membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta senantiasa mempunyai martabat harga diri yang rendah (no freedom for poor). Ukuran ketidakberdayaan atau ketidakmampuan (powerlessnes)  Kemiskinan  didasarkan pada aspek penguasaan modal kapital yaitu : 1) Human Capital (modal sumber daya manusia); 2) Business Capital (modal usaha / perdagangan); 3) Infrastructure (prasarana / rangka dasar); 4) Nature Capital (modal sumber daya alam); 5) Public Institusional Capital (lembaga-lembaga umum / publik) dan; 6) Knowledge Capital (modal pengetahuan / penguasaan pengetahuan) 
Dengan demikian secara umum kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hakhak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi yang sangat luas ini menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan masalah multi dimensional, menyangkut banyak aspek dan permasalahan. Sehingga tidak mudah untuk melakukan pengukuran tingkat kemiskinan, untuk itu
perlu kesepakatan bersama dengan model pendekatan pengukuran yang dipakai.
Untuk mengukur tingkat kemiskinan di Indonesia, BPS menjadi institusi resmi yang menjadi rujukan, dalam hal ini BPS menyediakan 2 jenis data yaitu data kemiskinan makro dan mikro.
Data Kemiskinan Makro dalam pengukurannya menggunakan pendekatan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan konsep ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan. Dalam aplikasinya dihitung berdasarkan garis kemiskinan absolut. Penduduk yang memiliki ratarata pengeluaran/pendapatan per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan disebut penduduk miskin. Penghitungan penduduk miskin dengan pendekatan makro didasarkan pada data sampel bukan data sensus, sehingga hasilnya adalah estimasi (perkiraan). Sumber data yang digunakan adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), yang pencacahannya dilakukan setiap bulan Maret dengan jumlah sampel 68.000 rumah tangga. Jumlah dan persentase penduduk miskin dihitung per provinsi dengan garis kemiskinan yang berbedabeda. Di DKI Jakarta besaran garis kemiskinan pada tahun 2010 mencapai Rp. 331.169 per kapita per bulan, sementara di Papua Rp. 259.128. Data di level nasional merupakan penjumlahan penduduk miskin di seluruh provinsi, sehingga jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 sebesar 31,02 juta (13,33 persen dari total penduduk) dengan garis kemiskinan sebesar       Rp. 211.726 perkapita perbulan.
Data Kemiskinan Mikro, data kemiskinan makro hanya menunjukkan jumlah dan persentase penduduk miskin di setiap daerah berdasarkan estimasi. Data ini berguna untuk perencanaan dan evaluasi program kemiskinan dengan target geografis namun tidak dapat menunjukkan siapa dan dimana alamat
penduduk miskin (sasaran) sehingga tidak operasional untuk program penyaluran bantuan langsung dan perlindungan sosial seperti bantuan langsung tunai (BLT), raskin, dan Jamkesmas.
Untuk penyaluran bantuan langsung yang memerlukan nama dan alamat target dibutuhkan data kemiskinan mikro. Pengumpulan datanya harus dilakukan secara sensus, bukan sampel. Berbeda dengan metode penghitungan kemiskinan makro yang menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, pengumpulan data kemiskinan mikro didasarkan pada ciri
ciri rumah tangga miskin supaya pendataan bisa dilakukan secara cepat dan hemat biaya.
Jadi, sebetulnya tidak ada dua angka kemiskinan. Bila data 31,02 juta menunjukkan data penduduk miskin (pendekatan makro), sementara data 60,4 juta jiwa menunjukkan data individu penduduk miskin plus hampir miskin (pendekatan mikro). Selisih di antara keduanya menunjukkan besarnya penduduk hampir miskin. Mereka tidak tergolong miskin tetapi sangat rentan terhadap kemiskinan. Perlu kehati
hatian dalam membandingkan kedua data kemiskinan tersebut karena metode penghitungan dan tujuan penggunaannya memang berbeda.
Pada dasarnya, kepedulian untuk mewujudkan masyarakat  yang lebih baik dan terbebas dari kemiskinan telah berlangsung selama ini melalui berbagai upaya yang dinilai strategis baik oleh warga masyarakat sendiri, maupun pemerintah, dan pihak-pihak yang lain, seperti: LSM, swasta dan bahkan sebagian pesantren. Upaya yang dilakukan beragam dan terus bergulir seperti yang ditawarkan pemerintah antara lain: Kredit Ketahanan Pangan (KKP), Jaring Pengaman Sosial (JPS), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Raskin, Askeskin, P2KP dan terakhir PNPM mandiri dan masih banyak program lain. Kesemua program tersebut harus diakui sudah memberikan kontribusi yang besar terhadap tahap awal pemberdayaan masyarakat. Sayang bahwa di balik keberhasilan yang dicapai, belum diikuti  bentuk program lain yang memberi sentuhan dari aspek lain sehingga menghasilkan penanganan yang menyeluruh dan tuntas. Menurut Prof. Dr Iman Santoso (2006) ada beberapa kesalahan paradigmatik dalam memandang kemiskinan yakni:
a.         Pembangunan yang berlangsung sementara ini masih terlalu berorientasi ekonomi begitu juga saat memandang persoalan kemiskinan, kita belum menelisik lebih jauh persoalan kemiskinan secara menyeluruh dari hulu ke hilir. Pada hal yang sebenarnya kemiskinan mestinya dipandang dari aspek multidimensional.
b.            Pembangunan lebih bernuansa karitatif ketimbang produktivitas. Kita lebih banyak memandang kemiskinan dari kemurahatian. Pemerintah yang murah hati itu yang mau memberi bantuan secara ekonomi dalam bentuk modal/uang. Kondisi ini tidak memunculkan endorsement/dorongan dari dalam dari pihak si miskin untuk bangkit dari keterpurukan. Justeru yang terjadi adalah ketergantungan pada pihak lain dan akhirnya sulit diharapkan untuk menjadi produktif dan mandiri.
c.      Masyarakat miskin belum diposisikan sebagai subyek tetapi justeru sebagai obyek.
d.            Pemerintah masih dominan berperan sebagai penguasa bukan sebagai fasilitator. Jangan dilihat apa yang tidak dimiliki orang miskin, tetapi lihatlah apa yang dimiliki olehnya jadikanlah potensi personal diri.


B.      Indikator Kemiskinan
Berdasarkan definisi kemiskinan yang telah dibahas pada bab terdahulu maka Indikator-indikator kemiskinan sebagaimana di kutip dari Badan Pusat Statistika, antara lain dirumuskan sebagai berikut:
1.  Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan dan papan).
2.       Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).
3.   Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).
4.     Kerentanan  terhadap  goncangan  yang bersifat  individual maupun massa.
5.        Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya alam.
6.        Kurangnya apresiasi dalam kegiatan sosial masyarakat.
7.        Tidak adanya akses dalam lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.
8.        Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
9.        Ketidakmampuan dan ketidaktergantungan sosial (anak-anak terlantar, wanita korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marginal dan terpencil).
Ada beberapa pihak yang kemudian membuat rincian lebih detail tentang indikator kemiskinan terkait dengan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan akses pelayanan sosial dasar yaitu ;
1.        Hidup dalam rumah dengan ukuran lebih kecil dari 8 M².
2.    Hidup dalam rumah dengan lantai tanah atau lantai kayu berkualitas rendah.
3.      Hidup dalam rumah dengan dinding terbuat dari kayu berkualitas rendah.
4.        Hidup dalam rumah yang tidak dilengkapi dengan WC
5.        Hidup dalam rumah tanpa listrik
6.        Tidak mendapat fasilitas air bersih.
7.        Mengunakan kayu bakar, arang atau minyak tanah untuk memasak.
8.        Mengkonsumsi daging atau susu seminggu sekali.
9.        Belanja satu set pakaian baru setahun sekali
10.    Makan hanya sekali atau dua kali sehari
11.    Tidak mampu membayar biaya kesehatan pada puskesmas terdekat.
12.    Pendapatan keluarga kurang dari Rp. 600.000 per- bulan
13.    Pendidikan kepala keluarga hanya setingkat Sekolah Dasar.
14.    Memiliki tabungan kurang Rp. 500.000
15.    Memperkejakan anak dibawah umur.
16.    Tidak mampu membiayai anak sekolah.


C.      Akar Penyebab Kemiskinan
Bila ditinjau dari akar penyebabnya kemiskinan secara umum bisa diklasifikasikan dalam beberapa golongan yaitu :
1.        Kemiskinan Struktural, yaitu kemiskinan yang diturunkan dari orangtua ke anaknya, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Orang tua yang miskin kemungkinan besar akan menghasilkan generasi berikutnya yang miskin juga, karena dengan kemiskinannya orang tua kemungkinan tidak bisa memberikan bekal pendidikan dan bekal lainnya yang memungkinkan anak untuk berkembang dan meraih masa depan. Oleh sebab inilah kebanyakan kemiskinan banyak terjadi.
2.        Kemiskinan Kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh aturan-aturan adat yang membatasi penguasaan akses-akses ekonomi dengan alasan-alasan kultural. Dalam hal ini termasuk aturan aturan pemerintah, negara yang berpengaruh me-marjinalkan seseorang atau kelompok masyarakat.
3.        Kemiskinan Theologis, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh interpretasi suatu ajaran tertentu yang menganggap bahwa kemiskinan sebagai jalan hidup yang harus dijalani. Pada kasus ini kita akan sulit sekali membedakan sikap “nrimo” dengan kemalasan, sederhana tidak sama dengan miskin demikian juga menjalani kehidupan sederhana tidak berarti kita hidup miskin.
4.        Kemiskinan Psikologis, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh hambatan- hambatan psikologis sehingga potensi seseorang tidak tereksplorasi secara maksimal.
.
II.    Kondisi faktual kemiskinan di Kab. Tulungagung.

Pada tahun 2009 pernah dilakukan sensus Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS 2009) yang menggambarkan kondisi kemiskinan faktual per 30 Oktober 2009 oleh Badan Pusat Statistik. Dan tata yang dihasilkan sebagaimana ditunjukkan tabel 01. Dari tabel ini bisa dianalisa penyebaran kemiskinan per kecamatan, pada daerah mana prosentase kemiskinan termasuk tinggi, lalu kemudian bagaimana karakteristik masyarakat disitu akses ekonominya, interaksi sosialnya, ketersediaan infrastruktur sosial dasar, dinamika masyarakat dan aspek aspek lainnya.


























Tabel. O1.













KECAMATAN
 SANGAT        MISKIN (KK)
 MISKIN (KK)
 HAMPIR               MISKIN (KK)
 JUMLAH RTM (KK)
 TIDAK               MISKIN (KK)
 JUMLAH (KK)
 PROSENTASE
PROSENTASE

 SANGAT              MISKIN
 MISKIN
 HAMPIR              MISKIN
 TIDAK              MISKIN
 JUMLAH
KK

MISKIN



1                                                                      (2+3+4)
2                                                                    (2+3+4)
3                                                                  (2+3+4)
4                                                                   (2+3+4)
5               (2+3+4)
6                                                                 (2+3+4)
7               (5+6)
8             (2/7)
9            (3/7)
10            (4/7)
11            (5/7)
12                                                 (8+9+10+11)
13                          (12-11)

[ 010 ] BESUKI
              114
              488
              832
           1.434
           8.156
           9.590
             1,19
             5,09
             8,68
           85,05
                   100
               14,95

[ 020 ] BANDUNG
                 67
              742
           2.198
           3.007
        10.901
        13.908
             0,48
             5,34
           15,80
           78,38
                   100
               21,62

[ 030 ] PAKEL
              182
           1.363
           1.695
           3.240
        12.760
        16.000
             1,14
             8,52
           10,59
           79,75
                   100
               20,25

[ 040 ] CAMPUR DARAT
              415
           1.177
              506
           2.098
        13.934
        16.032
             2,59
             7,34
             3,16
           86,91
                   100
               13,09

[ 050 ] TANGGUNG GUNUNG
                 83
              982
           1.342
           2.407
           5.399
           7.806
             1,06
           12,58
           17,19
           69,16
                   100
               30,84

[ 060 ] KALIDAWIR
              336
           1.739
           2.439
           4.514
        12.822
        17.336
             1,94
           10,03
           14,07
           73,96
                   100
               26,04

[ 070 ] PUCANG LABAN
                 33
              495
           1.128
           1.656
           5.721
           7.377
             0,45
             6,71
           15,29
           77,55
                   100
               22,45

[ 080 ] REJOTANGAN
              418
           2.069
           2.110
           4.597
        14.534
        19.131
             2,18
           10,81
           11,03
           75,97
                   100
               24,03

[ 090 ] NGUNUT
              616
           1.643
           1.026
           3.285
        18.757
        22.042
             2,79
             7,45
             4,65
           85,10
                   100
               14,90

[ 100 ] SUMBERGEMPOL
              454
           1.556
           1.482
           3.492
        14.970
        18.462
             2,46
             8,43
             8,03
           81,09
                   100
               18,91

[ 110 ] BOYOLANGU
              538
           1.998
           1.608
           4.144
        19.170
        23.314
             2,31
             8,57
             6,90
           82,23
                   100
               17,77

[ 120 ] TULUNGAGUNG
              818
           1.368
              507
           2.693
        13.107
        15.800
             5,18
             8,66
             3,21
           82,96
                   100
               17,04

[ 130 ] KEDUNGWARU
           1.026
           2.006
           1.220
           4.252
        18.714
        22.966
             4,47
             8,73
             5,31
           81,49
                   100
               18,51

[ 140 ] NGANTRU
              436
           1.468
              866
           2.770
        11.912
        14.682
             2,97
           10,00
             5,90
           81,13
                   100
               18,87

[ 150 ] KARANGREJO
              155
              896
              942
           1.993
           8.572
        10.565
             1,47
             8,48
             8,92
           81,14
                   100
               18,86

[ 160 ] KAUMAN
           1.068
           2.196
              744
           4.008
        10.821
        14.829
             7,20
           14,81
             5,02
           72,97
                   100
               27,03

[ 170 ] GONDANG
              530
           2.178
           1.536
           4.244
        13.235
        17.479
             3,03
           12,46
             8,79
           75,72
                   100
               24,28

[ 180 ] PAGER WOJO
                 93
              850
           1.083
           2.026
           7.079
           9.105
             1,02
             9,34
           11,89
           77,75
                   100
               22,25

[ 190 ] SENDANG
              520
           2.248
           1.646
           4.414
           9.118
        13.532
             3,84
           16,61
           12,16
           67,38
                   100
               32,62

JUMLAH KAB. TULUNGAGUNG
           7.902
        27.462
        24.910
        60.274
      229.682
      289.956
             2,73
             9,47
             8,59
           79,21
                   100
               20,79








































Secara nasional terdapat dikotomi kemiskinan antara perdesaan dan perkotaan karena memang pendekatannya melihat karakteristik kemiskinan masyarakat rural dan urban, namun bila melihat kondisi faktual kemiskinan di Kabupaten Tulungagung sepertinya tidak menampakkan perbedaan yang signifikan antara keduanya, karena hampir 100% masyarakat Tulungagung adalah masyarakat rural atau berkultur rural. Dengan memperhatikan karakteristik kemiskinan tersebut identifikasi kemiskinan di Kab. Tulungagung lebih sesuai dengan menggunakan pendekatan Cluster komunitas, yaitu pada golongan masyarakat mana kemiskinan banyak terjadi, stratifikasi ini memungkinkan untuk melakukan mapping berdasarkan demografi penduduk, secara garis besar cluster kemiskinan di Tulungagung meliputi;
1.  Petani kecil dan buruh tani
Jumlah penduduk miskin pada cluster ini cukup besar, di semua kecamatan yang merupakan daerah pertanian angka kemiskinan yang terdata pasti berasal dari Cluster ini. Penyebab kemiskinan cluster ini karena penguasaan lahan yang sangat sempit dan atau posisi mereka yang hanya sebagai buruh tani/petani penggarap.  Kebijakan pembangunan sektor pertanian selama ini yang berorientasi pada peningkatan produksi tidak berpengaruh pada peningkatan pendapatan mereka, karena revenue pertambahan produksi prosentase terbesarnya kembali kepada pemilik lahan. Untuk sekedar survive mereka harus bekerja sangat keras di banyak jenis pekerjaan dengan jam kerja yang sangat panjang, mulai sehabis subuh sampai menjelang maghrib.
2.  Nelayan kecil dan buruh nelayan.
Permasalahan kemiskinan pada Cluster ini karena keterbatasan sarana produksi berupa kapal atau perahu, jaring dan lainnya sehingga menyebabkan covered area penangkapan yang bisa mereka jangkau sangat terbatas. Pada sisi lain mereka juga sangat tergantung pada musim dan kondisi cuaca, demikian juga pada masa panen ikan harga jual pasti jatuh, kondisi ini diperparah dengan tidak dikuasainya tekhnologi pengolahan Post Harvest, dan belum adanya hasil ikan dari budidaya.
3. Masyarakat pinggiran hutan.
Nasib mengenaskan dialami masyarakat pinggiran hutan, mereka terbelenggu kemiskinan ditempat yang sebenarnya berlimpah sumber daya alam. Kemiskinan yang mereka alami disebabkan kebijakan negara yang tidak berpihak kepada mereka, penguasaan sumber daya alam oleh negara mematikan akses ekonomi, dan disisi lain Benefit Delivery Return dari hasil pengelolaan sumber daya alam hutan tidak ada yang kembali pada mereka. Seperti yang dialami buruh tani untuk Survive mereka terkadang meninggalkan tempat tinggal untuk menjadi buruh migran di tempat lain atau di luar negeri untuk beberapa waktu.
4.   Kaum Buruh.
Sebagaimana fenomena global kemiskinan kaum buruh disebabkan oleh upah murah yang masih terjadi sampai kini. Terjadinya upah murah disebabkan oleh kesenjangan antara kesempatan kerja yang tersedia dan jumlah pencari kerja sehingga menyebabkan bargaining position, posisi tawar buruh menjadi rendah terhadap majikan, dan juga kondisi buruh kita yang memang bukan Skilled and Trained Qualification. Demikian juga kebijakan upah murah ternyata  masih menjadi daya tarik investasi disini.
5.   Pekerja sektor informal.
Pekerja sektor informal di Kabupaten Tulungagung meliputi Pedagang Kaki Lima (PK 5), Pedagang kecil di pasar pasar Tradisional, abang becak dll. Kemiskinan cluster ini disebabkan oleh keterbatasan akses lokasi berusaha/berjualan yang representatif dan permanen karena sering berbenturan dengan aspek ketertiban dan keindahan. Juga oleh persaingan dengan pihak lain yang lebih mapan dalam permodalan, jaringan dan mengadopsi modernitas kekinian.
6.   Penyandang disabilitas, anak-anak dan lanjut usia terlantar
Sebagai penyandang disabilitas, dan pribadi yang belum matang atau sudah menurun kemiskinan yang dialami karen keterbatasan keterbatasan fisik dan psikis sehingga potensi yang dimiliki tidak tereksplorasi secara maksimal.


III.  Arah Kebijakan
A.    Arah Kebijakan Pembangunan.
Arah kebijakan pembangunan dalam rangka penanggulangan kemiskinan karena sifatnya yang multi dimensional tidak bisa dilakukan secara parsial, tetapi harus terintegrasi secara utuh dengan Grand Design pembangunan secara umum dan tercantum secara jelas pada Blue Print kebijakan pembangunan jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Artinya bahwa dalam setiap kebijakan strategis sampai pada aplikasi tekhnis dilapangan semuanya harus mencerminkan keberpihakan yang nyata pada kepentingan kelompok masyarakat miskin, kelompok rentan dan kelompok marjinal lainnya, prinsip ini sering disebut dengan Pro poor planning and budgeting, perencanaan dan penganggaran yang berorientasi pada kelompok masyarakat miskin, dalam konteks Indonesia mungkin identik dengan program ekonomi kerakyatan.
Peranan yang harus dilakukan pemerintah sebagai wujud keberpihakan kepada masyarakat miskin adalah melakukan proteksi baik dalam bentuk regulasi maupun kebijakan melalui instrumentasi sosial dan ekonomi. Salah satu wujud dari proteksi itu adalah pemberian previledge bagi penyertaan kelompok masyarakat miskin dalam kegiatan dan proyek proyek pembiayaan pemerintah, serta kesempatan yang lebih luas bagi keterlibatan masyarakat miskin untuk pengelolaan pembangunan partisipatif secara mandiri. Kebijakan ini kelihatannya diskriminatif, namun bila dipikir secara mendalam adalah suatu ketidakadilan mengadu kelompok masyarakat miskin dengan kelompok pengusaha dalam gelanggang yang sama, karena tentu segmentasinya berbeda.  Pemberian ruang yang lebih luas kepada masyarakat miskin untuk meningkatkan penguasaan akses ekonomi dengan memberlakukan segmentasi ekonomi merupakan wujud nyata keadilan sosial. Dengan kewenangan yang dimiliki, pemerintah harus bisa memfungsikan diri sebagai pembuka jendela peluang (windows of opportunity) bagi khususnya masyarakat miskin untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan guna memformulasikan jenis pelayanan publik yang tepat bagi mereka, karena nampaknya kebijakan apapun dari pemerintah akan kurang bermakna bila tidak bisa menjangkau kelompok – kelompok masyarakat miskin.  Rakyat miskin haruslah menjadi pangkal tolak, pusat dan sekaligus tujuan akhir dari setiap upaya pembangunan (cernea, 1985).  Seorang pemilik lahan kecil, penyewa lahan garapan, buruh tani dan kelompok marjinal lainnya merupakan pihak yang lemah jika tidak ada orang atau aparatur yang mampu mengartikulasikan kepentingannya dan mau memperhatikan atau memperjuangkan nasibnya.

Melihat kondisi faktual kemiskinan di Kab. Tulungagung, Hal hal penting dalam penetrasi kebijakan yang harus dilakukan sebagai manifestasi  keberpihakan pada masyarakat miskin adalah sbb;
1.      Perlindungan dan revitalisasi sumber daya serta akses ekonomi.
Kepemilikan sumber daya dan akses ekonomi merupakan komponen utama bagi masyarakat miskin untuk membebaskan diri dari kemiskinan yang dialami, oleh karenanya  sangat penting bagi pemerintah untuk memberikan proteksi, perlindungan pada sumber daya dan akses ekonomi yang selama ini sudah dikuasai dan menjadi tempat mencari penghidupan (base operation) bagi kelompok masyarakat rentan dan miskin agar terjamin keberlangsungannya. perlindungan tersebut berupa regulasi dan kebijakan yang dilaksanakan secara konsisten dan bertanggung jawab.
Bentuk – bentuk perlindungan tersebut antara lain;
-  Perlindungan tempat tempat dan kawasan yang menjadi base operation masyarakat miskin dalam mencari nafkah.
Pemberlakuan segmentasi ekonomi salah satu bentuk riilnya adalah pembatasan ruang bagi pengusaha besar, konglomerasi, franchise baik asing maupun lokal pada wilayah yang menjadi base operation masyarakat miskin, pengusaha lemah, pedagang kecil dan pasar tradisional. Misalnya pelarangan atau pembatasan ijin bagi perusahaan retail nasional pada wilayah wilayah kecamatan karena masuknya mereka kesuatu wilayah kecamatan tentu akan berpengaruh pada pedagang kecil mulai dari penurunan omset sampai kebangkrutan.  Sebagai kelompok rentan invasi pihak luar bisa memberikan guncangan yang membuat terjadinya penurunan derajat kesejahteraan secara masif.


-   Pemberian akses kepemilikan lahan dan pengelolaan sumber daya alam.
Pada kasus kemiskinan yang dialami masyarakat pinggiran hutan adalah sebuah ironi mengingat keberadaan mereka didekat sumber daya alam yang besar, masalah   disini terjadi karena tidak adanya hak penguasaan lahan dan akses pengelolaan hutan, jika kemudian kepemilikan aset menjadi salah satu indikator kemiskinan maka masyarakat pinggiran hutan akan miskin selamanya. Bila memang pengalihan aset kepada masyarakat tidak memungkinkan dari sisi peraturan perundang undangan mungkin bisa dilakukan sistem kerjasama baru yang mengkompromikan semua kepentingan termasuk ekonomi dan ekologi. Terobosan baru sangat diperlukan mengingat prosentase kemiskinan di  Cluster ini sangat tinggi khususnya di Kec. Tanggunggunung, Pucanglaban, sendang dan pagerwojo serta jumlah populasinya besar dan  kepemilikan hutan oleh institusi negara selama ini tidak memberikan Benefit delivery return yang cukup bagi masyarakat.  
Termasuk dalam hal ini pengelolaan sumber daya alam, bahan tambang, harus sebesar mungkin melibatkan rakyat dan masyarakat miskin khususnya, artinya bila masyarakat secara mandiri maupun bersama sama mampu mengolah dan mengelola maka tidak perlu mendatangkan investor dari luar, kalaupun terpaksa harus mendatangkan investor dari luar sebaiknya pengolahannya harus dilakukan disini. Prinsipnya adalah masyarakat Tulungagung harus sebesar mungkin mendapat nilai tambah dari sumber daya yang ada.
-   Pengalokasian lokasi strategis untuk  PK5 dan UMKM.
Meski dalam lingkup kecil PKL dan UMKM adalah entrepreneur (wirausahawan) dengan motivasi, keuletan, inovasi dan daya survival yang kuat, terbukti merekalah yang mampu berkelit dari deraan krisis dan mampu beradaptasi dengan situasi perekonomian yang fluktuatip. Jiwa dan semangat entrepreneurship yang mereka miliki semestinya dipupuk, dikembangkan dan difasilitasi bukan malah dimatikan dengan alasan alasan yang tidak substansial.
Daya serap sektor informal terhadap kesempatan kerja dan berusaha jauh lebih besar dibandingkan dengan Pusat Perbelanjaan Modern, coba kita telaah dengan logika yang paling sederhana saja, dengan asumsi akses lokasi dan segmen market yang sama, berapa jumlah pedagang yang bisa tertampung pada lahan seluas 1 hektar, bila setiap PKL dibantu 2 orang saja berapa orang yang terlibat pada kegiatan usaha disitu, dan bila setiap pedagang mengambil dagangan dari daerah setempat, sudah berapa unit kerja terhidupi dengan order yang teratur dan berkesinambungan. Walau mungkin sirkulasi keuangan yang terjadi tidak sebesar pusat perbelanjaan Modern namun nilai manfaat social (Social Value) nya jauh lebih besar dan sekaligus aspek pemerataan Penguasaan Akses akses ekonomi akan tercapai.
Bila selama ini PKL identik dengan kesemrawutan dan ketidakteraturan itu bisa dipahami karena dalam sejarahnya memang tidak ada PKL itu suatu yang direncanakan, PKL selalu lahir dari ketidakberdayaan dan keterpaksaan . Akan berbeda bila Pemerintah mengalokasikan lahan secara khusus untuk PKL, tentu saja lahan yang cukup strategis, dengan bangunan yang representatif, mempertimbangkan nilai nilai estetika, desain penataan tata ruang yang baik, regulasi beserta penerapannya yang jelas dan konsisten, maka kenyamanan dan ketertiban pasti bukan sesuatu yang sulit untuk dicapai.  Kebijakan penanganan PKL tidak bisa dilakukan secara Parsial, tapi harus menyeluruh, terintegrasi dengan Blueprint Masterplan tata  ruang kota dan menyentuh akar permasalahan sesungguhnya.  Tidak pula dengan merelokasi mereka ke tempat lain dipinggiran kota, karena dalam hal ini Mekanisme Pasar yang berbicara, tentu tidak bisa  PKL dipaksa berjualan ditempat yang tidak nyaman kotor, sepi dan jauh dari pembeli.
Memang bukan suatu yang mudah untuk mewujudkan obsesi ini, dan belum ada suatu referensi yang bisa dipakai bahan rujukan untuk mengukur tingkat keberhasilan program, karena memang belum ada daerah lain yang menyelesaikan masalah PKL dengan pola pendekatan Kebijakan seperti ini. Harus disadari untuk membangun “penampungan” PKL dengan Bangunan, Infrastruktur, dan Fasilitas Modern, Penataan tata ruang yang baik dan pada lokasi yang strategis memerlukan Political Will, Itikad baik dan Komitmen yang kuat dari Pemerintah. Hampir hampir tidak mungkin ada Investor atau Konsorsium Swasta mau membiayai proyek seperti ini karena Return Of Invesment yang sulit dicapai dalam waktu singkat dan Margin Keuntungan yang tidak Signifikan. Namun perlu dipertimbangkan bahwa dengan berkembangnya PKL menjadi suatu unit usaha secara linier juga akan meningkatkan pendapatan asli daerah dari sisi retribusi dan Tax Revenue (pengembalian pajak). Satu hal yang jelas bisa dicapai dengan pemberdayaan Pekerja Mandiri Sektor Informal (khususnya PKL) adalah berkurangnya jumlah pengangguran, terentasnya kelompok ini dari kemiskinan dan tumbuhnya perekonomian sektor riil UMKM (usaha menengah kecil dan mikro)  serta tercapainya pemerataan penguasaan akses akses ekonomi tanpa mengorbankan  keindahan dan ketertiban. Dan bahkan bisa jadi terbentuknya kawasan PKL yang baik, khususnya penyedia jasa kuliner, akan mendukung kelestarian warisan Kuliner nusantara dan bisa dikembangkan menjadi  obyek wisata yang menarik. 
Dari kenyataan selama ini hanya sektor jasa kuliner  berbasis tradisional yang tidak bisa dimasuki oleh pemain asing sehingga nantinya bila pasar bebas global benar benar diterapkan maka sektor ini mungkin satu satunya yang masih sanggup mempertahankan local branded dan identitas Indonesia.  Sebagai bukti ketika ACFTA (asean-china free trade agreement) dilaksanakan beberapa tahun yang lalu, ketika banyak sektor lain terutama sektor manufaktur menjerit, sektor kuliner berbasis tradisional masih bisa berkembang. Bagaimanapun kita harus jujur bahwa perut kita lebih familier dengan nasi lodho daripada pizza, dan lidah kita lebih nyaman dengan keripik tempe daripada french-fries.
-           Mengembangkan produk unggulan daerah yang dilakukan dengan basis produksi padat karya.
Dalam konteks ini kita telah berhasil mengembangkan batik Tulungagung menjadi ikon daerah dan sanggup bersaing di pasar nasional sehingga secara signifikan bisa meningkatkan pendapatan para pembatik yang mayoritas ibu ibu. Kita bisa melakukan hal serupa untuk produk lain seperti krupuk rambak, geti, kacang sanghai, kerajinan perabot rumah tangga (sapu, keset), konveksi dan banyak lagi produk kerajinan serta kuliner khas Tulungagung, caranya melalui keikutsertaan di even even kegiatan, maupun mengadakan sendiri acara acara bazaar kuliner lokal tradisional secara reguler maupun berkala.
-   Peningkatan produktivitas keluarga.
Produktivitas adalah basis untuk menggerakkan perekonomian demi peningkatan pendapatan. Pendekatannya bisa melalui peningkatan peran ibu rumah tangga melalui pembentukan unit unit usaha yang dikelola ibu ibu secara berkelompok. Konsep ini mungkin cocok untuk keluarga buruh tani di perdesaan dan nelayan, karena biasanya ibu ibu masih punya sedikit waktu luang yang bisa digunakan untuk kegiatan produktif dengan memanfaatkan potensi lokal disekitarnya, dan tingkat kekerabatan kebersamaan antar warga masih relatif bagus sehingga menunjang aplikasi konsep ini.

2.      Penyediaan Akses Kebutuhan Sosial Dasar yang merata, murah dan berkualitas.
-          Pendidikan
Di masa yang akan datang, knowledge base for reducing poverty, pengurangan kemiskinan berbasis pengetahuan,  akan terus relevan. Banyak negara telah membuktikan bahwa keunggulan ilmu pengetahuan dan tekhnologi sangat berperan pada kemajuan dan kesejahteraan meski negara tersebut minim sumber daya alam. Dengan penguasaan ilmu dan pengetahuan akan banyak kesempatan terbuka, akan banyak kemungkinan kita survive dalam persaingan global. Dan satu satunya jalan meraih ilmu pengetahuan adalah melalui pendidikan dalam arti luas,    oleh karenanya sangat diperlukan terbukanya kesempatan menempuh pendidikan bagi semua orang pada semua level dengan pendidikan yang berkualitas.   Yang perlu diperhatikan dalam kebijakan bidang pendidikan khususnya terkait dengan Knowledge base for reducing poverty adalah integrasi pendidikan dengan dinamika perubahan global, sehingga kurikulum pendidikan selalu up date dan bisa diaplikasikan serta output pendidikan selalu sesuai dengan perkembangan jaman.
Sesuai fungsinya sekolah sebagai institusi pendidikan harus fokus pada mekanisme transfer pengetahuan mengingat jam belajar yang terbatas, mengenai pembentukan karakter, sekolah hanya bersifat supporting saja, karena sebenarnya pembentukan karakter anak lebih pada interaksinya di rumah/keluarga dan lingkungan.
Jadi kondisi pengasuhan dirumah dan lingkungan yang sehat perlu diupayakan dalam rangka mendukung keberhasilan tujuan pendidikan.

-     Kesehatan
Aspek kesehatan sangat berpengaruh pada kemiskinan, seseorang yang bertahun tahun bekerja keras, menyimpan sedikit demi sedikit uang untuk investasi akan kembali jatuh miskin ketika suatu saat menderita sakit dan harus mendapatkan perawatan di rumah sakit mengingat biaya perawatan masih mahal. Demikian juga seorang yang sering sakit sakitan bisa dipastikan tidak sanggup menata kehidupannya dengan baik dan akhirnya jatuh miskin. Maka disinilah sebenarnya urgensi dari penyediaan sarana pelayanan kesehatan yang terjangkau di seluruh wilayah dan dengan pelayanan yang berkualitas, agar tercipta masyarakat yang bukan saja unggul secara keilmuan namun juga kuat dan sehat secara fisik.  Bagi masyarakat miskin harus ada jaminan bahwa kebutuhan pelayanan kesehatan mereka di penuhi oleh pemerintah dengan baik.


-          Pangan
Pangan merupakan kebutuhan pokok yang tidak bisa ditunda pemenuhannya ketersediaan bahan pangan dengan jumlah yang cukup, bagus kualitas dan kandungan nutrisinya serta dalam harga yang terjangkau sangat diperlukan bagi masyarakat apalagi masyarakat miskin. Oleh karenanya campur tangan pemerintah sangat diperlukan untuk menjamin ketersediaan pangan karena hal ini juga menyangkut ketahanan daerah dan ketahanan nasional.
Program seperti Raskin perlu dilanjutkan dengan beberapa perbaikan terkait kualitas beras dan jangkauan sasaran.
-     Perumahan
 Perumahan adalah kebutuhan pokok lain setelah pangan dan sandang, dalam rumah yang layak interaksi sosial yang baik antar anggota keluarga akan terbangun sehingga menumbuhkan keluarga yang mempunyai ketahanan sosial, selanjutnya ketahanan sosial dalam keluarga ini akan mendukung terciptanya ketahanan masyarakat serta ketahanan bangsa dan negara. Ketahanan sosial sendiri didefinisikan sebagai kondisi dinamis yang memungkinkan keluarga dan masyarakat mengatasi masalahnya sendiri secara mandiri, sehingga masalah yang timbul tidak membesar menjadi masalah regional dan nasional.
Namun pemenuhan perumahan bukanlah perkara gampang, untuk membangun rumah layak huni diperlukan biaya yang lumayan besar yang hampir pasti sulit dipenuhi oleh masyarakat miskin. Untuk itu campur tangan pemerintah sangat diperlukan demi pemenuhan rumah yang layak huni.
Secara tekhnis rumah layak huni harus memenuhi prasyarat kesehatan, keamanan dan kesusilaan. Syarat kesehatan berarti rumah mempunyai sanitasi yang baik, ventilasi untuk sirkulasi udara dan sistem pencahayaan yang memadai. Syarat keamanan berarti rumah bisa melindungi penghuninya dari bencana seperti gempa, angin puting beliung dan ancaman dari kejahatan manusia dan binatang buas serta prasyarat kesusilaan berarti penghuni dalam rumah mendapatkan privasi untuk melakukan aktivitas sebagai suami istri dan sebagai individu


B.      Aplikasi Program
Program penanggulangan kemiskinan merupakan penjabaran dari kebijakan pembangunan, sehingga semua program yang diluncurkan harus sejalan dan saling bersinergi untuk pencapaian tujuan yang digariskan dalam arah kebijakan pembangunan.
Penyusunan program pembangunan dalam rangka penanggulangan kemiskinan harus sudah memakai indikator indikator spesifik yang membuat capaian kinerja pelaksanaan program bisa diukur dan dipertanggungjawabkan secara scientific, ilmiah. Dalam hal ini penting bagi pelaksana program untuk mendiagnosa akar permasalahan kemiskinan sasaran program orang per orang untuk kemudian merumuskan solusi yang diambil, demikian juga penting untuk kita bisa membedakan antara kebutuhan sasaran dan keinginan sasaran. Pada saat tertentu keinginan sasaran sejalan dengan kebutuhan namun bisa jadi keinginan sasaran sebenarnya bukan sesuatu yang benar benar  dibutuhkan, nah disinilah sebenarnya fungsi aparatur pemerintah yang responsif, akuntabel  diperlukan.
Program dalam rangka penanggulangan kemiskinan dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) jenis yaitu
1.      Rehabilitasi Sosial.
Program rehabilitasi sosial merupakan upaya yang dilakukan untuk menghilangkan hambatan hambatan psikologis yang meyebabkan potensi seseorang tidak bisa tereksploitasi secara maksimal sehingga terbelenggu dalam kemiskinan. Jenis kegiatan yang dilakukan berupa bimbingan mental spiritual, bimbingan motivasi, bimbingan kepribadian sampai pada theraphy bila memang diperlukan. Tujuan akhir dari rehabilitasi sosial adalah terciptanya transformasi pola pikir dan tingkah laku menuju pribadi berperilaku positif, manifestasinya adalah sebagai berikut ;
a.       Pribadi terbuka yang bisa berbagi dengan orang lain (bermasyarakat),
b.       Menghargai norma dan ketentuan yang berlaku di masyarakat
c.         Mempunyai rasa percaya diri dalam proporsi yang wajar.,
d.       Mau bekerja keras,
e.        Dinamis, mau mencoba hal hal baru
f.          Kreatif
g.       Produktif .
Pada fase inilah sebenarnya tantangan terbesar bakal dialami,  karena merubah mentalitas bukanlah perkara gampang, bisa jadi akan memerlukan banyak waktu dan kerja keras baik oleh aparatur pelaksana program maupun sasaran program. Namun bagaimanapun mentalitas adalah fondasi dasar bagi pelaksanaan program dan sangat menentukan pencapaian tujuan akhir, sehingga harus dilaksanakan dengan sungguh sungguh.

2.      Pemberdayaan Sosial.
Pemberdayaan sosial merupakan kegiatan untuk mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat agar dapat mencapai taraf yang lebih baik sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya dalam pranata kemasyarakatan secara baik.
Pemberdayaan dalam rangka pengentasan kemiskinan  meliputi pemberdayaan personal dan pemberdayaan ekonomi. Pemberdayaan personal masyarakat miskin ditujukan untuk meningkatkan kapasitas pribadi (personal capacity) dan Kapasitas Kelompok (community capacity). Peningkatan Kapasitas Pribadi (Personal Capacity)  merujuk pada peningkatan Intelektualitas dan kematangan Psycho-Emotional (psycho emotional maturity).  Peningkatan Intelektualitas berwujud pada kemampuan untuk mencerna dan menganalisa masalah serta menemukan solusi, dan  peningkatan life skill ketrampilan yang sangat diperlukan sebagai senjata untuk survive dalam persaingan. Kematangan Psycho-Emotional adalah kemampuan mengelola emosi, stimulus stimulus internal dan eksternal serta penempatan rasionalitas dalam penyikapan keadaan, wujud dari kematangan Psycho-Emotional bisa membimbing agar peningkatan kapasitas pribadi masyarakat miskin tetap selalu dalam koridor norma hukum, norma sosial dan norma agama, serta semua upaya pemberdayaan yang telah dilakukan mempunyai implikasi positif dan konstruktif terhadap Pola Kebijakan Pembangunan secara Makro.
Peningkatan kapasitas kelompok (community capacity) diperlukan untuk meningkatkan posisi tawar (bargaining position) masyarakat miskin terhadap dunia luar serta membuka akses masyarakat miskin terhadap pelayanan publik. Peningkatan kapasitas kelompok bisa ditempuh melalui pemberdayaan kelompok kelompok dalam masyarakat baik itu kelompok usaha bersama maupun jenis kelompok lainnya.
Pemberdayaan Ekonomi  adalah pemberian suatu jenis pekerjaan atau usaha ekonomi produktif  kepada masyarakat miskin sehingga ada suatu jenis usaha dan pekerjaan permanen yang bisa dijadikan penopang utama dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari hari. Guna mewujudkan pemberdayaan Ekonomi harus ada parameter specifik yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah dalam hal jenis bantuan, jumlah bantuan, jenis pendampingan dan durasi program. Jenis Bantuan harus disesuaikan dengan daya dukung alam sekitar baik demi keberlangsungan usaha dan pemasarannya, untuk jumlah bantuan harus ada analisa dalam jumlah minimal berapa suatu jenis usaha untuk orientasi bisnis bisa diusahakan dengan sistem industri rumahan (home industri).
Jenis pendampingan yang dilakukan dalam pengentasan kemiskinan harus bisa mengawal keseluruhan program dari awal sampai saat dimana masyarakat miskin mempunyai kemampuan untuk mandiri dan mempunyai kesanggupan untuk bersaing. Oleh karena itu seringkali program pengentasan kemiskinan tidak bisa dilakukan secara Instansional mengingat bahwa pendampingan yang harus dilakukan menyangkut banyak aspek dengan intensitas kegiatan yang tinggi dan memerlukan banyak assesment dengan sentuhan pribadi (personal touch). Durasi pendampingan hendaknya dalam jangka panjang, mengingat pemberdayaan masyarakat miskin adalah upaya untuk mengubah pola pikir dan pola tindakan dari konsepsi tradisional menuju konsepsi modern, dari konsepsi agraris menuju konsepsi industrialis. Muara dari pendampingan menuju pemberdayaan ekonomi adalah terbentuknya jiwa enterpreneurship dalam diri masyarakat miskin yang ditopang oleh  kecukupan kapasitas pribadi dan kapasitas kelompok.
Proses menuju pemberdayaan masyarakat miskin baik itu pemberdayaan personal maupun pemberdayaan ekonomi merupakan fase krusial yang sangat menentukan dalam keseluruhan assesment penanggulangan kemiskinan sehingga pemahaman indikator indikator keberhasilan dalam tiap tahapan program harus benar benar diperhatikan sebelum melangkah ketahapan berikutnya. 
Kemandirian masyarakat miskin didefinisikan sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari hari secara layak dan kemampuan untuk berpikir, bertindak serta mengaktualisasikan eksistensi diri dalam pranata sosial kemasyarakatan. Sehingga relasi dalam interaksi sosial bukan lagi hubungan atas bawah, superior-inferior atau ordinat-sub ordinat tetapi sebagai mitra sejajar yang mempunyai ekualitas dalam pemenuhan hak dan kewajiban. Kemandirian dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari hari secara layak dalam arti tidak adanya ketergantungan kepada pihak lain berimplikasi positif terhadap meningkatnya rasa percaya diri, dari konfidensi ini nantinya diharapkan muncul  survivalitas dalam mengarungi kompetisi. Mengingat bahwa kompleksitas permasalahan dalam kehidupan sangat bervariasi dan berfluktuasi sehingga kemampuan untuk survive sangat diperlukan agar upaya pemberdayaan yang telah dijalankan tidak mentah kembali.
Kelestarian (sustainability) dimaksudkan sebagai jaminan kepada masyarakat miskin akan keberlangsungan perikehidupan mereka serta pengembangannya, dalam fase ini konsistensi pemerintah dalam me-regulasi kebijakan yang berpihak pada masyarakat miskin dan assistensi yang intensif sangat diperlukan. Pada tahap ini pemerintah perlu membangun, memfasilitasi terbentuknya jaringan kerja yang luas sehingga memungkinkan bagi masyarakat miskin untuk mengembangkan diri.


3.      Bantuan Sosial
Bantuan sosial adalah program yang dilakukan untuk mempertahankan derajat kesejahteraan masyarakat dari penurunan akibat pengaruh eksternal yang tidak terhindarkan seperti bencana, kebijakan pemerintah dan kondisi force majeur lainnya,  bantuan kepada masyarakat yang karena kondisi fisik dan kejiwaannya tidak memungkinkan dilakukan upaya lainnya serta bantuan pemenuhan kebutuhan pokok yang tidak mungkin bisa dipenuhi oleh penduduk miskin secara mandiri. Jenis kegiatan yang dilakukan dalam program ini adalah;
a.     Bantuan sosial kepada korban bencana alam dan bencana sosial.
b.     Bantuan terkait penyesuaian harga BBM
c.  Bantuan pemenuhan kebutuhan pokok untuk anak anak dipanti asuhan, anak terlantar dalam asuhan keluarga dan lanjut usia terlantar
d.     Bantuan untuk penyandang cacat dan disabilitas
e.     Bantuan rehab rumah tidak layak huni.
f.        Dll.
 
IV.         Penutup.
Penanggulangan kemiskinan tidak akan habis untuk dibahas karena topik ini akan selalu up date sepanjang zaman, sepanjang masa. Banyak teori dan konsep dilahirkan, namun kita tidak perlu berpolemik berkepanjangan karena setiap teori dan konsep berbasiskan pada pemikiran dan kajian masing masing, namun yang terpenting adalah program penanggulangan kemiskinan haruslah program jangka panjang yang berkelanjutan dan ”pure” untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan bukan program instant jangka pendek apalagi dengan tujuan tujuan politis dan publisitas.