Program pengentasan kemiskinan sebenarnya sudah lama
mendapat perhatian dalam kebijakan pembangunan secara nasional maupun di Kabupaten
Tulungagung. Bila pada kenyataannya
masih banyak ditemukan kemiskinan dalam masyarakat, maka pertanyaannya adalah :
1.
Apakah
program pengentasan kemiskinan yang sudah dijalankan tidak berjalan sebagaimana
mestinya ? tidak menghasilkan solusi sebagaimana yang diharapkan ?
2. Apakah
porsi Program pengentasan kemiskinan dalam pola umum kebijakan pembangunan
secara makro tidak cukup signifikan dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi?
3. Apakah
ada faktor eksternal yang begitu kuat sehingga laju kemiskinan baru lebih besar
dari jumlah warga miskin yang berhasil dientaskan, sehingga secara kumulatif
angka kemiskinan tetap bertambah?
Untuk menjawab pertanyaan pertanyaan diatas ada baiknya
kita sedikit flash back dulu ke belakang untuk mengetahui bagaimana sebenarnya kemiskinan
dalam masyarakat bisa terjadi. Kemiskinan bukanlah suatu permasalahan yang
berdiri sendiri, kemiskinan merupakan muara dari permasalahan permasalahan lain
baik personal maupun dalam komunitas suatu masyarakat yang terakumulasi dan
tereskalasi menjadi kemiskinan dalam bentuknya yang kompleks, yaitu
ketidakberdayaan dan keterbatasan- keterbatasan lainnya.
Bila ditilik dari akar penyebabnya kemiskinan bisa
diklasifikasikan dalam beberapa golongan yaitu :
1. Kemiskinan
Struktural, yaitu kemiskinan yang diturunkan dari orangtua ke anaknya, dari
satu generasi ke generasi berikutnya.
2.
Kemiskinan
Kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh aturan-aturan adat yang
membatasi penguasaan akses-akses ekonomi dengan alasan-alasan kultural.
3. Kemiskinan
Theologis, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh interpretasi suatu ajaran
tertentu yang menganggap bahwa kemiskinan sebagai jalan hidup yang harus dijalani.
4. Kemiskinan
Psikologis, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh hambatan- hambatan psikologis
sehingga potensi seseorang tidak tereksplorasi secara maksimal.
Pada kenyataan riil dilapangan kemiskinan yang terjadi
dalam masyarakat bisa karena satu faktor atau merupakan kombinasi dari beberapa
sebab, oleh karena itu pengentasan kemiskinan harus dilakukan dengan suatu konsep
terpadu dari semua unsur antar instansi lintas departemen pemerintah maupun
institusi swasta dan masyarakat yang saling bersinergi dan terintegrasi dalam
suatu pola kebijakan makro dan sektoral yang konsisten dan berkelanjutan.
Integrasi semua komponen dalam pengentasan kemiskinan sangat penting agar bisa
menghasilkan suatu assesmen yang terfokus dan menyeluruh, karena berdasarkan
indikator-indikator dilapangan kemiskinan yang terjadi di Indonesia khususnya
di Kabupaten Tulungagung bukan lagi semata mata masalah Infrastruktur melainkan
lebih kepada masalah lain yang lebih elementer yaitu masalah Suprastruktur,
Mentalitas. Hal ini terkait dengan proses Nation Character Building, proses
pembentukan karakter bangsa yang tidak terselesaikan, terbengkalai dan
terabaikan. Sehingga kini kita menjadi bangsa
dan masyarakat yang tidak punya etos kerja, kejujuran, kedisiplinan,
tanggung jawab, rasionalitas, daya survival, kreatifitas dan inovasi, padahal
hal hal inilah sebenarnya yang harus dimiliki sebagai modal dasar menuju
kemajuan dan kesejahteraan.
Bertolak dari kenyataan itu Re-design Pola Kebijakan Pembangunan
di Kabupaten Tulungagung dalam rangka pengentasan kemiskinan harus didasarkan
pada peningkatan kualitas sumber daya masyarakat miskin dengan merujuk pada
Pemberdayaan (empowering), Kemandirian (independence) dan Kelestarian
(sustainable).
Pemberdayaan dalam rangka pengentasan kemiskinan meliputi pemberdayaan personal dan
pemberdayaan ekonomi. Pemberdayaan personal masyarakat miskin ditujukan untuk
meningkatkan kapasitas pribadi (personal capacity) dan Kapasitas Kelompok (community
capacity). Peningkatan Kapasitas Pribadi (Personal Capacity) merujuk pada peningkatan Intelektualitas dan kematangan
Psycho-Emotional (psycho emotional maturity). Peningkatan Intelektualitas berwujud pada kemampuan
untuk mencerna dan menganalisa masalah serta menemukan solusi, dan peningkatan life skill ketrampilan yang
sangat diperlukan sebagai senjata untuk survive dalam persaingan. Kematangan Psycho-Emotional
adalah kemampuan mengelola emosi, stimulus stimulus internal dan eksternal
serta penempatan rasionalitas dalam penyikapan keadaan, wujud dari kematangan
Psycho-Emotional bisa membimbing agar peningkatan kapasitas pribadi masyarakat
miskin tetap selalu dalam koridor norma hukum, norma sosial dan norma agama,
serta semua upaya pemberdayaan yang telah dilakukan mempunyai implikasi positif
dan konstruktif terhadap Pola Kebijakan Pembangunan secara Makro.
Peningkatan kapasitas kelompok (community capacity)
diperlukan untuk meningkatkan posisi tawar (bargaining position) masyarakat
miskin terhadap dunia usaha dan stake holder terkait serta membuka akses
masyarakat miskin terhadap pelayanan publik.
Peningkatan
kapasitas kelompok bisa ditempuh melalui pemberdayaan kelompok kelompok dalam
masyarakat baik itu kelompok usaha bersama maupun jenis kelompok lainnya.
Pemberdayaan Ekonomi adalah pemberian suatu jenis pekerjaan atau
usaha ekonomi produktif kepada
masyarakat miskin sehingga ada suatu jenis usaha dan pekerjaan permanen yang
bisa dijadikan penopang utama dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari hari. Guna
mewujudkan pemberdayaan Ekonomi harus ada parameter specifik yang bisa
dipertanggung jawabkan secara ilmiah dalam hal jenis bantuan, jumlah bantuan,
jenis pendampingan dan durasi program. Jenis Bantuan harus disesuaikan dengan
daya dukung alam sekitar baik demi keberlangsungan usaha dan pemasarannya,
untuk jumlah bantuan harus ada analisa dalam jumlah minimal berapa suatu jenis
usaha untuk orientasi bisnis bisa diusahakan dengan sistem industri rumahan.
Jenis pendampingan yang dilakukan dalam pengentasan
kemiskinan harus bisa mengawal keseluruhan program dari awal sampai saat dimana
masyarakat miskin mempunyai kemampuan untuk mandiri dan mempunyai kesanggupan
untuk bersaing. Oleh karena itu seringkali program pengentasan kemiskinan tidak
bisa dilakukan secara Instansional mengingat bahwa pendampingan yang
harus dilakukan menyangkut banyak aspek dengan intensitas kegiatan yang tinggi
dan memerlukan banyak assesment dengan sentuhan pribadi (personal touch). Durasi
pendampingan hendaknya dalam jangka panjang, mengingat pemberdayaan masyarakat
miskin adalah upaya untuk mengubah pola pikir dan pola tindakan dari konsepsi
tradisional menuju konsepsi modern, dari konsepsi agraris menuju konsepsi
industrialis. Muara dari pendampingan menuju pemberdayaan ekonomi adalah
terbentuknya jiwa enterpreneurship dalam diri masyarakat miskin yang ditopang
oleh kecukupan kapasitas pribadi dan
kapasitas kelompok.
Proses menuju pemberdayaan masyarakat miskin baik itu pemberdayaan
personal maupun pemberdayaan ekonomi merupakan fase krusial yang sangat
menentukan dalam keseluruhan assesment penanggulangan kemiskinan sehingga
pemahaman indikator indikator keberhasilan dalam tiap tahapan program harus
benar benar diperhatikan sebelum melangkah ketahapan berikutnya.
Kemandirian masyarakat miskin didefinisikan sebagai kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari hari secara layak dan kemampuan untuk berpikir,
bertindak dan mengaktualisasikan eksistensi diri dalam pranata sosial
kemasyarakatan. Sehingga relasi dalam interaksi sosial bukan lagi hubungan atas
bawah, superior-inferior atau ordinat-sub ordinat tetapi sebagai mitra sejajar
yang mempunyai ekualitas dalam pemenuhan hak dan kewajiban. Kemandirian dalam
pemenuhan kebutuhan hidup sehari hari secara layak dalam arti tidak adanya ketergantungan
kepada pihak lain berimplikasi positif terhadap meningkatnya rasa percaya diri,
dari konfidensi ini nantinya diharapkan muncul
survivalitas dalam mengarungi kompetisi. Mengingat bahwa kompleksitas
permasalahan dalam kehidupan sangat bervariasi dan berfluktuasi sehingga
kemampuan untuk survive sangat diperlukan agar upaya pemberdayaan yang telah
dijalankan tidak mentah kembali.
Peranan yang harus dilakukan pemerintah dalam menopang
kemandirian masyarakat miskin adalah melakukan proteksi baik dalam bentuk
regulasi maupun kebijakan melalui instrumentasi sosial dan ekonomi. Salah satu
wujud dari proteksi itu adalah pemberian previledge bagi penyertaan kelompok
masyarakat miskin dalam kegiatan dan proyek proyek pembiayaan pemerintah.
Kebijakan ini kelihatannya diskriminatif, namun bila dipikir secara mendalam
adalah suatu ketidakadilan mengadu kelompok masyarakat miskin dengan kelompok
pengusaha dalam gelanggang yang sama, karena tentu segmentasinya berbeda. Pemberian ruang yang lebih luas kepada
masyarakat miskin untuk meningkatkan penguasaan akses ekonomi dengan
memberlakukan segmentasi ekonomi merupakan wujud nyata keadilan sosial.
Pemberlakuan segmentasi ekonomi salah satu bentuk riilnya adalah pembatasan
ruang bagi pengusaha besar, konglomerasi, franchise baik asing maupun lokal
pada wilayah yang menjadi base operation masyarakat miskin, pengusaha lemah,
pedagang kecil dan pasar tradisional. Misalnya pelarangan atau pembatasan ijin
bagi perusahaan retail nasional pada wilayah wilayah kecamatan karena masuknya
mereka kesuatu wilayah kecamatan tentu akan berpengaruh pada pedagang kecil
mulai dari penurunan omset sampai kebangkrutan.
Kelestarian (sustainability) dimaksudkan sebagai jaminan
kepada masyarakat miskin akan keberlangsungan perikehidupan mereka serta
pengembangannya, dalam fase ini konsistensi pemerintah dalam me-regulasi
kebijakan yang berpihak pada masyarakat miskin dan assistensi yang intensif sangat
diperlukan. Pada tahap ini pemerintah perlu membangun, memfasilitasi
terbentuknya jaringan kerja yang luas sehingga memungkinkan bagi masyarakat
miskin untuk mengembangkan diri. Pendek kata program pengentasan kemiskinan haruslah
program jangka panjang yang berkelanjutan dan ”pure” untuk mengentaskan
masyarakat dari kemiskinan bukan program instant jangka pendek apalagi dengan
tujuan tujuan politis dan publisitas.