Meskipun
secara makro Human Development Index
(HDI)* Indonesia mengalami peningkatan, namun ternyata Kompleksitas
permasalahan sosial dari tahun ke tahun terus menunjukkan peningkatan yang
signifikan baik dari kuantitas maupun kualitas.
Secara umum hal ini disebabkan oleh
tidak terjangkaunya standar kelayakan hidup faktual oleh kenaikan produk
domestic bruto (PDB) per kapita, dalam arti bahwa kenaikan pendapatan per
kapita masyarakat tidak bisa menjangkau pemenuhan pertambahan kebutuhan hidup
sehari hari sesuai kondisi faktual kekinian, atau dalam kata lain pertambahan
daftar kebutuhan sehari hari jauh melebihi peningkatan penghasilan masyarakat, bila pertambahan kebutuhan hidup mengikuti
deret hitung maka peningkatan pendapatan mengikuti deret ukur. Contoh konkritnya adalah bila pada beberapa
dasawarsa lalu orang sudah bisa dikatakan hidup layak dengan tercukupinya
kebutuhan sandang, pangan dan papan, maka saat ini standar kelayakan hidup juga
meliputi pendidikan, kesehatan, kebutuhan rekreatif dan beberapa kebutuhan
sekunder (secondary needs) sedangkan peningkatan pendapatan riil tidak sebesar
laju peningkatan kebutuhan faktual.
Pusaran
arus globalisasi yang tengah melanda ternyata melahirkan pola hidup hedonisme
dan konsumerisme, yaitu gaya hidup yang memuja keduniawian secara berlebihan
dan pemenuhan akan barang yang jauh melebihi kebutuhan sebenarnya, gaya hidup
ini ikut berkontribusi dalam memperparah ketimpangan PDB per kapita terhadap standar
kelayakan hidup, kondisi inilah yang kemudian menyebabkan disharmoni sosial
yang berujung pada permasalahan sosial. Sementara pembangunan di Indonesia masih berada pada fase pemenuhan kebutuhan
fasilitas infrastruktur dasar maka penanganan permasalahan sosial membutuhkan
partisipasi yang besar dari masyarakat.
Dari sisi Negara, sesuai pasal
27 ayat 2, pasal 28 huruf H ayat
3, pasal 34 ayat 1 dan 2 UUD 1945
memberi penegasan bahwa setiap warga negara berhak atas kesejahteraan sosial
yang sebaik baiknya dan pemerintah wajib melindungi kehidupan dan penghidupan
bangsa Indonesia dan berusaha untuk
mewujudkan kesejahteraan sosial bagi setiap warga negara Indonesia.
Dengan demikian menjadi tugas konstitusional negara untuk melakukan penanganan terhadap
permasalahan sosial di masyarakat, karena pada dasarnya dari 28 (dua puluh
delapan) permasalahan sosial yang teridentifikasi kesemuanya merupakan imbas dari
kegagalan pelaksanaan pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini dan atau
mereka yang belum terakses dalam program program pembangunan sehingga membutuhkan penanganan segera, tidak bisa
diambil skala prioritas penanganan karena menyangkut hal hal yang sangat
elementer sehingga merupakan tugas berat
yang harus dipikul bersama pemerintah dan masyarakat.
Dari hasil kinerja pada Institusi birokrasi penyedia
layanan sosial yang ada saat ini, ada semacam Lack of Capacity (ketimpangan kapasitas) yang menyebabkan
penanganan permasalahan sosial tidak menyeluruh dan tuntas. Lack
of capacity
itu bersumber dari lack of competency (ketimpangan kompetensi), lack of facility (ketimpangan fasilitas) dan lack of authority (ketimpangan kewenangan). Lack of competency adalah kurangnya kompetensi aparatur pemerintah
penyedia layanan sosial dari sisi basis
keilmuan maupun keterampilan tekhnis, hal ini terjadi karena minimnya pendidikan dan pelatihan spesialisasi keahlian yang
diadakan oleh instansi sosial di daerah dan lembaga vertikal di propinsi dan
pusat. Lack of Facility bukanlah semata mata kurangnya anggaran yang
dimiliki oleh instansi sosial namun juga mencakup kurangnya atau tidak adanya fasilitas
dan infrastruktur pendukung untuk pemberian layanan sosial khususnya didaerah
sehingga pelayanan yang diberikan selama ini lebih kepada layanan administratif,
tentu hal ini tidak menyelesaikan masalah karena tidak menyentuh akar permasalahan sesungguhnya. Lack of
Authority yaitu belum adanya payung
hukum yang mengatur kewenangan dan tata hubungan antar stake holder pemangku
permasalahan sosial, sehingga dalam pelaksanaan assessment dilapangan sering kali
terjadi hambatan. Hambatan seringkali juga
disebabkan oleh belum tertatanya koordinasi antar lembaga penyedia layanan
khususnya untuk kegiatan rehabilitasi sosial, pada kenyataan dilapangan sering
didapatkan adanya keengganan instansi sosial penyedia layanan untuk
melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai proporsinya dengan alasan alasan
administrative. Walaupun memang hal ini bisa dimaklumi karena
keterbatasan daya tampung dan kegiatan rehabilitasi sosial membutuhkan waktu
dan dana yang besar.
Bertolak dari kondisi ini banyak peran yang harus
dimainkan oleh masyarakat terutama di sektor
hulu yaitu menciptakan ketahanan sosial,
sebagai langkah preventif agar permasalahan sosial tidak sampai terjadi, secara
umum ketahanan sosial didefinisikan sebagai bentuk kemampuan dari suatu
komunitas dalam mengatasi berbagai resiko akibat perubahan sosial, ekonomi dan
politik. Sedangkan masyarakat yang
ber-ketahanan sosial dideskripsikan apabila secara kelembagaan mampu
menciptakan suatu kondisi dimana total pelayanan sosial yang dinamis, sensitive
dan komprehensif dapat terpenuhi dengan penuh kekeluargaan dan rasa tanggung
jawab sosial oleh pranata sosial kemasyarakatan yang dibentuk dari, oleh dan
untuk masyarakat, pada kondisi demikian setiap permasalahan sosial dapat secara
langsung ditangani oleh masyarakat sendiri. Jadi ketahanan sosial dapat juga disebut
sebagai formulasi awal filter penyaring terjadinya permasalahan sosial di
tingkat bawah, hal ini sangat penting dilakukan karena cost recovery untuk rehabilitasi
penyandang permasalahan sosial sangatlah besar, proses dan mekanismenya
begitu berliku.
Peran
serta masyarakat sangat diperlukan terutama pada kasus permasalahan sosial yang
menyangkut aspek poverty
(kemiskinan), Difability (kecacatan),
Abondaned (ketelantaran) dan
ketunaan. Penanganan permasalahan ini mulai dari deteksi dini,
assessment, rehabilitasi, monitoring dan program sustainability-nya membutuhkan
partisipasi yang besar dari masyarakat. Sebagai wadah dimana interaksi sosial
terbangun, masyarakat harus menjadi subyek bagi upaya upaya penanganan
permasalahan sosial. Prinsipnya adalah porsi terbesar penentu keberhasilan
penanganan permasalahan sosial adalah masyarakat, ketika pemerintah baru mampu
memberi assesment pada faktor faktor tekhnis maka masyarakat harus mendukung
pada penanganan hal hal non tekhnis, formulasi kerjanya bertumpu pada azas Share to care, berbagi kepedulian, atau
yang dalam terminologi sosial lazim
disebut kesetiakawanan sosial.
Secara Etimologis kesetiakawanan sosial didefinisikan sebagai sikap dan perilaku yang
dilandasi oleh pengertian, kesadaran, keyakinan tanggung jawab dan partisipasi
sosial sesuai dengan kemampuan dari masing masing warga masyarakat dengan
semangat kebersamaan, kerelaan untuk berkorban demi sesama, kegotong-royongan
dalam kebersamaan dan kekeluargaan. Sedangkan
aplikasi dari kesetiakawanan sosial
dalam kehidupan seharí hari adalah kepekaan dan perhatian akan kondisi
masyarakat disekitar serta kesediaan untuk membantu sesama anggota masyarakat
yang membutuhkan, meskipun begitu, perhatian dan kesediaan membantu itu tidak
boleh diletakkan pada konsepsi charity
approach atau dalam rangka pemberian amal, tetapi harus diletakkan dalam
kerangka base on human right approach
yaitu dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia karena pada dasarnya setiap
manusia bagaimanapun kondisinya berhak mendapat penghidupan yang layak, sehingga
penyandang masalah kesejahteraan sosial yang mendapat assistensi tidak
berkurang harkat dan martabat kemanusiaannya karena relasi yang terbangun tidak
pada posisi ordinat subordinat, superior inferior tetapi equal sejajar.
Secara normatif aplikasi kesetiakawanan sosial dalam
masyarakat selama berabad abad sudah terlembagakan dalam bentuk kearifan
lokal (local wisdom) menjadi nilai
sosial yang mempunyai kekuatan mengikat terhadap semua anggota masyarakat. Bentuk
bentuk kegiatan seperti gotong royong, sambatan, gugur gunung dan kegiatan
serupa dalam istilah lain adalah bentuk riil dari kesetiakawanan sosial
tersebut, ketika permasalahan sosial yang ada dalam masyarakat semakin kompleks
maka diperlukan suatu penguatan dan perluasan baik pada penetrasi nilai
tersebut dalam masyarakat maupun bentuk aplikasi dalam kegiatan riil seharí
hari.
Permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat
menyebabkan terganggunya interaksi sosial yang terbangun antar anggota
masyarakat sehingga penyandang masalah kesejahteraan sosial tidak bisa
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar, pada kondisi demikian secara
keseluruhan akan mengganggu pranata sosial kemasyarakatan sehingga memerlukan
penanganan yang serius dan menyeluruh, sementara pemerintah masih berkutat pada
penyediaan fasilitas infrastruktur dasar, maka masyarakat harus mengambil peran
yang besar dalam upaya penanganan permasalahan sosial yang muncul.
Saat ini nilai nilai kesetiakawanan sosial dalam
masyarakat semakin terreduksi oleh nilai nilai individualisme maka harus ada
upaya untuk memperkuat nilai nilai luhur itu melalui pelembagaan kearifan lokal
(local wisdom) yang berkembang dalam masyarakat, memperkuat dalam hal penetrasi
kepada masyarakat maupun bentuk kegiatan
riilnya di masyarakat. Kesemuanya dilakukan agar tercapai suatu bentuk tata
kehidupan bermasyarakat yang diliputi kesejahteraan sosial lahir dan batin.
* HDI adalah teori yang dikembangkan oleh ekonom Pakistan Mahbub Ul
Haq.
Sejak tahun 1993 dipakai
oleh UNDP untuk mengukur rangking
kesejahteraan suatu Negara
Tolok ukur HDI yaitu :
1.
Usia
harapan hidup
2.
Tingkat
kepesertaan dalam pendidikan.
3.
Standar
kelayakan hidup dari PDB per kapita
|
DAFTAR PUSTAKA
_________________
1. Majalah Kontak sosial, Media Informasi
Kesejahteraan Sosial Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur, edisi Triwulan 2 tahun
2009.
2. Sinar, Majalah Penyuluhan Sosial, Pusat
Penyuluhan Sosial (PUSPENSOS) Departemen Sosial RI, edisi 4 tahun 2009.
3. Sinar, Majalah Penyuluhan Sosial, Pusat
Penyuluhan Sosial (PUSPENSOS) Departemen Sosial RI, edisi 147 tahun 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar