Minggu, 10 Januari 2016

HOMO WAJAK KENSIS, PERADABAN KUNO TULUNGAGUNG


Meski tidak segemerlap peradaban besar  dunia yang monumental, Tulungagung ternyata sudah memiliki peradaban sejak jaman kuno/ pra sejarah (ancient civilisation), artinya daerah ini mempunyai peran penting terhadap kemajuan umat manusia dari jaman ke jaman. Bukti otentik dari asumsi ini adalah ditemukannya fosil manusia purba di Tulungagung yaitu Fosil Homo Wajak Kensis.
Menurut catatan, Fosil Homo wajakensis ditemukan secara tidak sengaja oleh Van Riestchoten pada tahun 1889 ketika sedang mencari batu marmer di  perbukitan kapur sisi barat desa Wajak, Tulungagung (sekarang secara administratif masuk Desa Gamping Kecamatan Campurdarat). Fosil ini kemudian diteliti oleh Eugene Dubois yang memang seorang arkeolog. Temuan fosil ini merupakan temuan fosil manusia purba pertama yang dilaporkan berasal dari Indonesia. Menurut gambaran anatomis Fosil Homo Wajakensis mempunyai tinggi badan sekitar 130—210 cm, dengan berat badan antara 30-150 kg. Volume otaknya mencapai 1300 cc. Manusia purba jenis ini diperkirakan hidup antara 40.000 —25.000 tahun yang lalu, pada lapisan Pleistosen Atas. 











 
Apabila dibandingkan jenis sebelumnya, Homo Wajakensis sudah menunjukkan sedikit kemajuan. Meski bahan makanan masih didapat dari hasil berburu dan mencari di hutan, belum mengenal bercocok tanam, namun begitu pengolahan makanannya sudah dimasak walaupun masih sangat sederhana. Strukutur anatomis Tengkorak Homo Wajakensis memiliki banyak persamaan dengan tengkorak penduduk asli Australia, Aborigin. Oleh karena itu berdasarkan kesamaan ini, Eugene Dubois menduga bahwa Homo Wajakensis termasuk dalam ras  Australoide, bernenek moyang Homo Soloensis dan menurunkan bangsa Aborigin. Fosil Homo Wajakensis juga memiliki kesamaan dengan fosil manusia Niah di Serawak Malaysia, manusia Tabon di Palawan, Filipina, dan fosil-fosil Australoid dari Cina Selatan, dan Australia Selatan.
Sekarang di lokasi penemuan fosil Homo wajak kensis telah dibuat penanda berupa Monumen oleh Pemerintah Kabupaten Tulungagung, masih sederhana memang untuk sebuah situs sejarah yang begitu penting yang menjadi pembuka pengetahuan tentang kehidupan dunia masa lampau. Bila dikelola dengan baik sesungguhnya tempat ini bisa menjadi obyek wisata yang menarik  sekelas Trinil, Sangiran di Ngawi, dan sebagaimana diketahui Desa Gamping Kec. Campurdart adalah pusat sovenir produk kerajinan batu onix dan marmer serta batuan alam, selain itu lokasinya sejalur dengan obyek wisata lainnya yaitu Telaga Buret, Pantai Popoh, Pantai Sidem atau kalo mau sedikit menyimpang bisa ke Pantai Sanggar di Kec. Tanggunggunung yang merupakan idola baru wisata pantai di Tulungagung. Sehingga tempat tempat wisata ini bisa diintegrasikan dalam satu paket yang menarik dan tentunya bisa meningkatkan pendapatan asli daerah untuk Pemkab. Tulungagung maupun penghasilan masyarakat sekitar
 
 

 

















 
Disekitar monumen yang sekarang, terdapat sebuah Tugu dan prasasti dengan tulisan berbahasa  belanda bertahun 1850, belum diketahui pembangunan monumen ini dalam rangka apa, namun tertulis disitu tentang kunjungan pembesar belanda dalam rangka mencari marmer, ada praduga eksplorasi marmer dikawasan ini sudah dimulai tahun 1850 sesuai angka yang tertulis di prasasti, untuk jelasnya akan kita teliti dilain waktu.

1 komentar: