Meski tidak segemerlap peradaban besar dunia yang monumental, Tulungagung ternyata
sudah memiliki peradaban sejak jaman kuno/ pra sejarah (ancient civilisation),
artinya daerah ini mempunyai peran penting terhadap kemajuan umat manusia dari
jaman ke jaman. Bukti otentik dari asumsi ini adalah ditemukannya fosil manusia
purba di Tulungagung yaitu Fosil Homo Wajak Kensis.
Menurut catatan, Fosil Homo wajakensis ditemukan
secara tidak sengaja oleh Van Riestchoten pada tahun 1889 ketika sedang mencari
batu marmer di perbukitan kapur sisi
barat desa Wajak, Tulungagung (sekarang secara administratif masuk Desa Gamping
Kecamatan Campurdarat). Fosil ini kemudian diteliti oleh Eugene Dubois yang
memang seorang arkeolog. Temuan fosil ini merupakan temuan fosil manusia purba
pertama yang dilaporkan berasal dari Indonesia. Menurut gambaran anatomis Fosil
Homo Wajakensis mempunyai tinggi badan sekitar 130—210 cm, dengan berat badan
antara 30-150 kg. Volume otaknya mencapai 1300 cc. Manusia purba jenis ini
diperkirakan hidup antara 40.000 —25.000 tahun yang lalu, pada lapisan
Pleistosen Atas.
Apabila dibandingkan jenis sebelumnya, Homo
Wajakensis sudah menunjukkan sedikit kemajuan. Meski bahan makanan masih didapat
dari hasil berburu dan mencari di hutan, belum mengenal bercocok tanam, namun
begitu pengolahan makanannya sudah dimasak walaupun masih sangat sederhana. Strukutur
anatomis Tengkorak Homo Wajakensis memiliki banyak persamaan dengan tengkorak
penduduk asli Australia, Aborigin. Oleh karena itu berdasarkan kesamaan ini,
Eugene Dubois menduga bahwa Homo Wajakensis termasuk dalam ras Australoide, bernenek moyang Homo Soloensis
dan menurunkan bangsa Aborigin. Fosil Homo Wajakensis juga memiliki kesamaan
dengan fosil manusia Niah di Serawak Malaysia, manusia Tabon di Palawan,
Filipina, dan fosil-fosil Australoid dari Cina Selatan, dan Australia Selatan.
Sekarang di lokasi penemuan
fosil Homo wajak kensis telah dibuat penanda berupa Monumen oleh Pemerintah
Kabupaten Tulungagung, masih sederhana memang untuk sebuah situs sejarah yang
begitu penting yang menjadi pembuka pengetahuan tentang kehidupan dunia masa
lampau. Bila dikelola dengan baik sesungguhnya tempat ini bisa menjadi obyek
wisata yang menarik sekelas Trinil,
Sangiran di Ngawi, dan sebagaimana diketahui Desa Gamping Kec. Campurdart
adalah pusat sovenir produk kerajinan batu onix dan marmer serta batuan alam,
selain itu lokasinya sejalur dengan obyek wisata lainnya yaitu Telaga Buret, Pantai
Popoh, Pantai Sidem atau kalo mau sedikit menyimpang bisa ke Pantai Sanggar di
Kec. Tanggunggunung yang merupakan idola baru wisata pantai di Tulungagung.
Sehingga tempat tempat wisata ini bisa diintegrasikan dalam satu paket yang
menarik dan tentunya bisa meningkatkan pendapatan asli daerah untuk Pemkab.
Tulungagung maupun penghasilan masyarakat sekitar
Disekitar monumen yang sekarang, terdapat
sebuah Tugu dan prasasti dengan tulisan berbahasa belanda bertahun 1850, belum diketahui
pembangunan monumen ini dalam rangka apa, namun tertulis disitu tentang
kunjungan pembesar belanda dalam rangka mencari marmer, ada praduga eksplorasi
marmer dikawasan ini sudah dimulai tahun 1850 sesuai angka yang tertulis di
prasasti, untuk jelasnya akan kita teliti dilain waktu.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus