Demokrasi adalah sistem
ketatanegaraan yang secara sadar kita pilih, sebagai konsekuensinya segala hal
yang berkaitan dengan pelaksanaan penyelenggaraan ketatanegaraan harus berlandaskan
azas azas Demokrasi. Sistem demokrasi yang kita anut mengaplikasikan konsep Trias Politika yang
bertumpukan pada pemisahan kekuasaaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Bertolak dari sistematika ini posisi partai
politik sebagai satu-satunya institusi legal formal yang me-representasi hak politik rakyat di lembaga
legislatif menjadi begitu strategis, selain itu partai politik juga menjadi
kawah candradimuka kaderisasi pemimpin pemimpin bangsa dimasa mendatang karena
sangat terbuka kemungkinan tokoh elit partai politik mengisi posisi strategis kepemimpinan
nasional baik di pemerintahan maupun lembaga lembaga Negara.
Namun sampai saat ini kita
seringkali dihadapkan pada realitas realitas paradoksal dimana indikator-
indikator teoritis tidak linier dengan kenyataan faktual dilapangan. Tatkala rezim
otoriter berhasil ditumbangkan dan kran demokrasi dibuka selebar lebarnya dalam
upaya membumikan demokrasi otentik di indonesia dengan memberi peluang selebar
lebarnya bagi partisipasi masyarakat untuk pendirian partai politik, ternyata
justru menjadi kontraproduktif dan malah mereduksi nilai positif dari demokrasi
itu sendiri.
Secara umum hal ini disebabkan
karena kekurangsiapan perangkat suprastruktur dan infrastruktur bagi
pelaksanaan otentisitas demokrasi.
Kekurangsiapan perangkat suprastruktur dan infrastruktur itu tergambar
dari perilaku politik baik itu kalangan
elitis, grass root, maupun struktur keorganisasian partai politik. Dari
kalangan elit parpol perilaku negatif yang menjadi handicap bagi peran positif
parpol dalam demokrasi adalah : pertama Budaya memonopoli kebenaran, kuatnya sindrome
singularitas kebenaran dalam sudut pandang pemikiran kaum elit parpol tercermin
dari seringnya friksi dan konflik internal parpol, egoisme memonopoli kebenaran
mengakibatkan kecenderungan memandang
kehidupan ini sebagai hitam dan putih, putih dipihak saya dan hitam dipihak
lawan tanpa memberi ruang yang cukup bagi eksistensi kelompok abu abu, sikap
semacam ini menimbulkan kanibalisme politik dan cenderung menjadikan parpol hanya
sebagai kendaraan untuk mencapai ambisi ambisi pribadi. masih banyaknya pola
pikir ini dalam diri para elit parpol
maka soliditas partai semakin sulit dicapai.
Kedua Hipokritisme, kemunafikan. Wujud dari hiprokritisme ini adalah inkonsistensi dalam ucapan dan
perbuatan, dalam panggung politik di indonesia sepertinya kebohongan itu suatu
yang ditolerir, lumrah. Kita seringkali menyaksikan kontradiksi antara antara
ucapan dan perbuatan, antara yang dikhotbahkan dan yang dilakukan. Sikap ini
semakin mendapatkan habitatnya ketika masyarakat kita begitu permisif terhadap
kebohongan dan perilaku perilaku negatif
kaum elit.
Ketiga tidak adanya sikap ksatria, Sportivisme. Dalam suatu kompetisi panjang yang melelahkan baik
itu dalam Pilkada maupun Pilpres sikap ksatria dari para kandidat sangat
diperlukan sehingga ketika ”pemenang” sudah ditentukan tidak muncul konflik
horisontal antar masa grass root. Kalau boleh belajar dari pilpres amerika yang
melahirkan Barrack Husein Obama sebagai presiden, kita patut mengapresiasi
sikap ksatria John McCain, begitu hasil penghitungan tabulasi suara menetapkan
Barrack Husein Obama sebagai pemenang, beliau mengadakan konperensi pers
dihadapan jutaan pendukungnya untuk menyatakan bahwa kompetisi telah usai dan beliau
mengajak untuk memberi dukungan sepenuhnya kepada pemerintahan presiden terpilih.
Meskipun tidak diatur dalam konstitusi dan peraturan perundang undangan Confession Speech seperti itu merupakan cara yang sangat
baik untuk menyatukan masyarakat kembali, tidak berlarut larut dalam suasana
konflik dan permusuhan.
Keempat Benefit Oriented, Orientasi
Keuntungan materi. Ada satu guyonan politik yang sering kita dengar yang
mengatakan bahwa investasi ekonomi dalam bidang politik sangat menggiurkan
karena return of invesment bisa dicapai dalam waktu singkat dan margin
keuntungan yang diperoleh bisa tidak terbatas.
Hal ini mungkin menjadi tengara bahwa partai politik di indonesia
mengalami proses industrialisasi dan menjadi selayaknya personal interprise.
Dari kelompok grass root (akar
rumput) berbagai hambatan bagi peran optimal parpol dalam pelaksanaan demokrasi
di Indonesia antara lain : Pertama Kurangnya Rasionalitas dalam pemberian
dukungan pada parpol, sebagian besar pemilih kita masih memilih dengan
pertimbangan pertimbangan emosional, seperti garis keturunan, hubungan darah,
ikatan historis, kesamaan etnis, kesamaan gender, dan bahkan masih ada yang
karena pengaruh mythologi, klenik dsb,
hal ini yang menyebabkan partai tidak bisa berkembang menjadi partai
modern, dan mereka yang duduk pada posisi puncak struktur hirarkikal
partai bukan karena kapasitas dan integritas
personal mereka yang baik namun karena garis keturunan dan darah yang mengalir
ditubuhnya atau jasa yang telah didarmabaktikan pendahulunya. Keadaan ini sudah
berlangsung lama dan ada kesan sengaja dibiarkan, karena dengan begitu masyarakat
akan mudah dikooptasi dan dijadikan bidak catur yang bisa digerakkan untuk
mendukung kepentingan mereka.
Kedua masih lekatnya kultur
paternalistik pada pola hubungan patron-klien dalam masyarakat kita, kultur dan
struktur paternalistik ini memposisikan hubungan antar manusia secara
vertikal-hirarkikal sesuai status dan jabatan. Interaksi yang terbangunpun
berlangsung dari atas ke bawah tidak secara egaliter. Hal ini tercermin dari
tabiat rakyat indonesia yang terlampau menunggu arahan dari atas dan nyaris
tidak ada kreasi yang lahir dari dalam dirinya, bahkan untuk sekedar menentukan
pilihan politik mereka harus menunggu arahan dan petunjuk dari patron kharismatis yang mereka anut.
Ada kata kata bijak yang
sering disitir oleh pakar ilmu politik yaitu
there is no road to democracy, democracy
is road (tidak ada jalan untuk
mencapai demokrasi, karena demokrasi
adalah jalan itu sendiri) bila demokrasi dianalogikan jalan maka parpol
adalah kendaraannya. Jadi jelaslah sebetulnya kalo demokrasi itu bukan tujuan,
dan kekuasaan adalah alat untuk pengabdian dalam rangka mewujudkan kemakmuran
dan kesejahteraan yang berperadaban. Deviasi sudut pandang dalam menyikapi
keberadaan parpol dan kekuasaan bisa
jadi dikarenakan beragamnya latarbelakang dan orientasi kepentingan politisi
dan aktivis partai.
Secara struktur
organisasi faktor penghambat bagi peran
positif parpol sebagai pilar demokrasi adalah : Pertama struktur organisasi parpol terlalu gemuk, dari pusat sampai
ke daerah banyak orang yang terlibat dalam kepengurusan parpol, dengan agenda
kegiatan yang terhitung padat tentu akan banyak dana yang harus dialokasikan
untuk operasional. Harus diingat bahwa parpol bukan perusahaan manufaktur yang
menghasilkan suatu barang dan bukan pula perusahaan jasa yang menghasilkan produk
layanan, sehingga bukan suatu yang aneh bila banyak perusahaan BUMN yang
menjadi sapi perahan parpol, perusahaan swasta nasional dan asing yang sering
”ditodong” parpol, dan banyak anggota legislatif kita yang tersandung kasus
korupsi. Kedua
belum membudayanya
sikap taat azas dan tunduk pada aturan main, AD/ART sebagai konstitusi partai
seringkali diposisikan sebagai aksesoris dan alat kelengkapan akta pendirian
partai semata. Sebagai rule of the game yang telah disepakati, semua komponen partai
semestinya tunduk pada AD/ART dan tidak membiarkan mekanisme partai
tersandera oleh kepentingan privat
seseorang.
Setiap permasalahan yang muncul hendaknya
disikapi dengan kepala dingin dan menempatkan semuanya pada proporsi yang
sewajarnya serta menyerahkan penyelesaiannya pada mekanisme yang telah
disepakati, tidak semua permasalahan harus diselesaikan dengan suksesi
kepemimpinan. Diperlukan kerja keras semua pihak, ketulusan dan keikhlasan
untuk membangun demokrasi yang sehat dengan menempatkan kepentingan bangsa
diatas kepentingan pribadi dan golongan, sehingga peranan parpol sebagai pilar
penyokong demokrasi bisa benar benar diwujudkan. Partai politik adalah
satu-satunya kendaraan legal formal yang bisa melalui jalan demokrasi bila ada
yang salah pada kendaraan itu maka mari kita benahi bersama dan bukan malah menghancurkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar