Minggu, 10 Januari 2016

INDUSTRIALISASI PARPOL, PILAR DEMOKRASI YANG TERKOYAK


Demokrasi adalah sistem ketatanegaraan yang secara sadar kita pilih, sebagai konsekuensinya segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan penyelenggaraan ketatanegaraan harus berlandaskan azas azas Demokrasi.  Sistem demokrasi yang kita anut mengaplikasikan konsep Trias Politika yang bertumpukan pada pemisahan kekuasaaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.  Bertolak dari sistematika ini posisi partai politik sebagai satu-satunya institusi legal formal yang  me-representasi hak politik rakyat di lembaga legislatif menjadi begitu strategis, selain itu partai politik juga menjadi kawah candradimuka kaderisasi pemimpin pemimpin bangsa dimasa mendatang karena sangat terbuka kemungkinan tokoh elit partai politik mengisi posisi strategis kepemimpinan nasional baik di pemerintahan maupun lembaga lembaga Negara.
Namun sampai saat ini kita seringkali dihadapkan pada realitas realitas paradoksal dimana indikator- indikator teoritis tidak linier dengan kenyataan faktual dilapangan. Tatkala rezim otoriter berhasil ditumbangkan dan kran demokrasi dibuka selebar lebarnya dalam upaya membumikan demokrasi otentik di indonesia dengan memberi peluang selebar lebarnya bagi partisipasi masyarakat untuk pendirian partai politik, ternyata justru menjadi kontraproduktif dan malah mereduksi nilai positif dari demokrasi itu sendiri.
Secara umum hal ini disebabkan karena kekurangsiapan perangkat suprastruktur dan infrastruktur bagi pelaksanaan otentisitas demokrasi.  Kekurangsiapan perangkat suprastruktur dan infrastruktur itu tergambar dari perilaku politik  baik itu kalangan elitis, grass root, maupun struktur keorganisasian partai politik. Dari kalangan elit parpol perilaku negatif yang menjadi handicap bagi peran positif parpol dalam demokrasi adalah : pertama  Budaya memonopoli kebenaran, kuatnya sindrome singularitas kebenaran dalam sudut pandang pemikiran kaum elit parpol tercermin dari seringnya friksi dan konflik internal parpol, egoisme memonopoli kebenaran mengakibatkan kecenderungan  memandang kehidupan ini sebagai hitam dan putih, putih dipihak saya dan hitam dipihak lawan tanpa memberi ruang yang cukup bagi eksistensi kelompok abu abu, sikap semacam ini menimbulkan kanibalisme politik dan cenderung menjadikan parpol hanya sebagai kendaraan untuk mencapai ambisi ambisi pribadi. masih banyaknya pola pikir  ini dalam diri para elit parpol maka soliditas partai semakin sulit dicapai.
Kedua Hipokritisme, kemunafikan. Wujud dari hiprokritisme ini adalah inkonsistensi dalam ucapan dan perbuatan, dalam panggung politik di indonesia sepertinya kebohongan itu suatu yang ditolerir, lumrah. Kita seringkali menyaksikan kontradiksi antara antara ucapan dan perbuatan, antara yang dikhotbahkan dan yang dilakukan. Sikap ini semakin mendapatkan habitatnya ketika masyarakat kita begitu permisif terhadap kebohongan dan perilaku perilaku negatif  kaum elit.
Ketiga  tidak adanya sikap ksatria, Sportivisme. Dalam suatu kompetisi panjang yang melelahkan baik itu dalam Pilkada maupun Pilpres sikap ksatria dari para kandidat sangat diperlukan sehingga ketika ”pemenang” sudah ditentukan tidak muncul konflik horisontal antar masa grass root. Kalau boleh belajar dari pilpres amerika yang melahirkan Barrack Husein Obama sebagai presiden, kita patut mengapresiasi sikap ksatria John McCain, begitu hasil penghitungan tabulasi suara menetapkan Barrack Husein Obama sebagai pemenang, beliau mengadakan konperensi pers dihadapan jutaan pendukungnya untuk menyatakan bahwa kompetisi telah usai dan beliau mengajak untuk memberi dukungan sepenuhnya kepada pemerintahan presiden terpilih. Meskipun tidak diatur dalam konstitusi dan peraturan perundang undangan Confession Speech seperti itu merupakan cara yang sangat baik untuk menyatukan masyarakat kembali, tidak berlarut larut dalam suasana konflik dan permusuhan.
Keempat Benefit Oriented, Orientasi Keuntungan materi. Ada satu guyonan politik yang sering kita dengar yang mengatakan bahwa investasi ekonomi dalam bidang politik sangat menggiurkan karena  return of invesment  bisa dicapai dalam waktu singkat dan margin keuntungan yang diperoleh bisa tidak terbatas.  Hal ini mungkin menjadi tengara bahwa partai politik di indonesia mengalami proses industrialisasi dan menjadi selayaknya personal interprise.                                                                                                                         
Dari kelompok grass root (akar rumput) berbagai hambatan bagi peran optimal parpol dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia antara lain : Pertama  Kurangnya Rasionalitas dalam pemberian dukungan pada parpol, sebagian besar pemilih kita masih memilih dengan pertimbangan pertimbangan emosional, seperti garis keturunan, hubungan darah, ikatan historis, kesamaan etnis, kesamaan gender, dan bahkan masih ada yang karena pengaruh mythologi, klenik dsb,  hal ini yang menyebabkan partai tidak bisa berkembang menjadi partai modern, dan mereka yang duduk pada posisi puncak struktur hirarkikal partai  bukan karena kapasitas dan integritas personal mereka yang baik namun karena garis keturunan dan darah yang mengalir ditubuhnya atau jasa yang telah didarmabaktikan pendahulunya. Keadaan ini sudah berlangsung lama dan ada kesan sengaja dibiarkan, karena dengan begitu masyarakat akan mudah dikooptasi dan dijadikan bidak catur yang bisa digerakkan untuk mendukung kepentingan mereka. 
Kedua masih lekatnya kultur paternalistik pada pola hubungan patron-klien dalam masyarakat kita, kultur dan struktur paternalistik ini memposisikan hubungan antar manusia secara vertikal-hirarkikal sesuai status dan jabatan. Interaksi yang terbangunpun berlangsung dari atas ke bawah tidak secara egaliter. Hal ini tercermin dari tabiat rakyat indonesia yang terlampau menunggu arahan dari atas dan nyaris tidak ada kreasi yang lahir dari dalam dirinya, bahkan untuk sekedar menentukan pilihan politik mereka harus menunggu arahan dan petunjuk  dari patron kharismatis yang mereka anut.
Ada kata kata bijak yang sering disitir oleh pakar ilmu politik  yaitu there is no road to democracy, democracy is road  (tidak ada jalan untuk mencapai demokrasi, karena demokrasi  adalah jalan itu sendiri) bila demokrasi dianalogikan jalan maka parpol adalah kendaraannya. Jadi jelaslah sebetulnya kalo demokrasi itu bukan tujuan, dan kekuasaan adalah alat untuk pengabdian dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan yang berperadaban. Deviasi sudut pandang dalam menyikapi keberadaan parpol dan kekuasaan  bisa jadi dikarenakan beragamnya latarbelakang dan orientasi kepentingan politisi dan aktivis partai.
Secara struktur organisasi  faktor penghambat bagi peran positif parpol sebagai pilar demokrasi adalah : Pertama struktur organisasi parpol terlalu gemuk, dari pusat sampai ke daerah banyak orang yang terlibat dalam kepengurusan parpol, dengan agenda kegiatan yang terhitung padat tentu akan banyak dana yang harus dialokasikan untuk operasional. Harus diingat bahwa parpol bukan perusahaan manufaktur yang menghasilkan suatu barang dan bukan pula perusahaan jasa yang menghasilkan produk layanan, sehingga bukan suatu yang aneh bila banyak perusahaan BUMN yang menjadi sapi perahan parpol, perusahaan swasta nasional dan asing yang sering ”ditodong” parpol, dan banyak anggota legislatif kita yang tersandung kasus korupsi. Kedua  belum membudayanya sikap taat azas dan tunduk pada aturan main, AD/ART sebagai konstitusi partai seringkali diposisikan sebagai aksesoris dan alat kelengkapan akta pendirian partai semata. Sebagai rule of the game  yang telah disepakati, semua komponen partai semestinya tunduk pada AD/ART dan tidak membiarkan mekanisme partai tersandera  oleh kepentingan privat seseorang.
 Setiap permasalahan yang muncul hendaknya disikapi dengan kepala dingin dan menempatkan semuanya pada proporsi yang sewajarnya serta menyerahkan penyelesaiannya pada mekanisme yang telah disepakati, tidak semua permasalahan harus diselesaikan dengan suksesi kepemimpinan. Diperlukan kerja keras semua pihak, ketulusan dan keikhlasan untuk membangun demokrasi yang sehat dengan menempatkan kepentingan bangsa diatas kepentingan pribadi dan golongan, sehingga peranan parpol sebagai pilar penyokong demokrasi bisa benar benar diwujudkan. Partai politik adalah satu-satunya kendaraan legal formal yang bisa melalui jalan demokrasi bila ada yang salah pada kendaraan itu maka mari kita benahi bersama dan bukan malah menghancurkannya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar